Selama ini dua sektor tersebut memang tabu dan menjadi daftar negatif untuk investor asing. Hingga sebagian kalangan menginginkan dua sektor tersebut dibuka 100% terhadap investor asing. Hal ini dimaksudkan untuk mempercepat pembangunan bandara-bandara baru dan memoles bandara lama.
Indonesia memerlukan banyak bandara yang berkapasitas lebih besar, baik dari sisi darat (terminal) maupun sisi udara (runway). Semua itu untuk mengikuti pertumbuhan jumlah penumpang yang mencapai 17% per tahun. Serta mengantisipasi datangnya ratusan pesawat baru yang saat ini sudah dipesan sejumlah maskapai.
Namun pihak Kementerian Perhubungan tetap bersikukuh untuk menggunakan ketentuan yang ada di UU no 1 tahun 2009 tentang Penerbangan. dalam UU disebutkan, kalaupun ada investor asing, tidak boleh lebih dari 49% menguasai bandar udara. Berbagai faktor menjadi alasan, di antaranya ketahanan ekonomi domestik dan keamanan-pertahanan negara.
Di tengah tarik-menarik rencana perubahan DNI tersebut, pengelola bandara di Indonesia justru tidak begitu bersemangat menanggapinya. Salahuddin Rafi, Direktur Pengembangan Bandara dan Teknologi PT Angkasa Pura II menyatakan bahwa mengelola bandara hingga menguntungkan itu tidak gampang. Perlu kerjasama komprehensif dengan berbagai pihak.
Berikut wawancara dengan Salahuddin Rafi terkait bisnis bandara di Indonesia.
Sebenarnya apa sih yang dimaksud degan bisnis pengelolaan bandara?
Bandara itu ibarat pabrik. Sesuai UU Penerbangan (no. 1 tahun 2009), produksinya ada tiga yaitu pergerakan penumpang, pergerakan pesawat dan pergerakan barang (penumpang dan kargo). Dengan adanya Airnav, pergerakan pesawat atau pelayanan jasa penerbangan (PJP) sekarang diambil mereka. Kita mengelola perpindahan antar moda. Dari moda darat ke udara dan sebaliknya. Kita juga menjamin penumpang aman dan selamat sampai dia masuk pesawat.
Filosofinya, kita menyediakan prasarananya, maskapai yang menyediakan sarananya. Konsep umumnya di seluruh dunia sama. Cuma di beberapa negara, bandara dan maskapai sinergi. Misalnya Singapore Airlines dengan Changi (CAAS), Emirates dengan Dubai (DNATA).
Apa permasalahan dalam pengelolaan bandara?
Permasalahan yang banyak dikeluhkan selama ini adalah kurangnya kapasitas di bandara. memang itu kita akui bahwa pertumbuhan penumpang lebih tinggi dari pertumbuhan bandara. Akibatnya level of service untuk penumpang tidak terpenuhi. Standar overall clear time (ACT, standar ketepatan waktu pergerakan penumpang di bandara) juga tidak tercapai.
Misalnya saja dulu Bandara Polonia yang kapasitasnya cuma untuk 900 ribu pergerakan penumpang per tahun ternyata harus melayani 7,9 juta penumpang per tahun. Jadi kalau satu penumpang domestik seharusnya dapat tempat empat meter persegi dan penumpang internasional dapat tujuh meter persegi, semua itu tidak terpenuhi. Penumpang lalu marah-marah dan menyalahkan pengelola bandara.
Tapi sebenarnya pokok permasalahannya bukan seperti itu. Permasalahannya kompleks. Mulai dari sisi operasional, kapasitas bandaranya sendiri serta hal-hal di luar kebandaraan.
Penulis | : | |
Editor | : | Kahfi Dirga Cahya |
KOMENTAR