Apa persoalan operasionalnya?
Kalau dilihat secara nasional adalah tatanan kebandarudaraan nasional. Pemerintah sudah menetapkan mana bandara hub dan mana yang spoke. Ini bisa menjadi masalah kalau semua dibuka jadi hub atau semua dibuka jadi spoke. Misalnya sudah ditentukan hub nasional Jakarta, Denpasar, Surabaya, Makasar dan Medan. Tapi tetap saja dari Bandung atau Yogyakarta bisa langsung ke Singapura, Kuala Lumpur dan sebagainya. Ini yang jadi masalah.
Setelah itu kita selesaikan masalah airspace management. Kita tidak lagi hanya mengatur ketinggian, kecepatan dan jarak antar pesawat, tapi juga manajemen lalu lintasnya. Karena pergerakan pesawat yang kita layani tiap harinya ada ribuan.
Pergerakan pesawat ini harus dilaporkan ke Airport Operation Center (AOC). Sehingga pihak airport bisa mengatur penumpang sesuai dengan pesawat yang akan dipakainya. Dengan demikian, tidak ada lagi kesimpangsiuran lalu lintas penumpang di terminal.
Lalu soal kapasitas bandara?
Memang kapasitas kurang terutama terminal penumpang. Semua bandara di Indonesia, baik AP 1 maupun AP 2 sejarahnya hanya mendapatkan saja. Yang membangun itu pemerintah atau bandara militer enclave sipil. Desainnya rata-rata desain airport destinasi. Mempercepat orang datang, mempercepat orang pergi. Sementara desain saat ini membuat orang betah berlama-lama di bandara. Itu tantangan kita di open sky.
Begitu lahir maskapai LCC (Low Cost Carrier) dan penumpang bertambah cepat, kapasitas terminal jadi tidak mencukupi. Padahal membangun bandara itu tidak bisa cepat. Minimal perlu waktu empat tahun.
Apa hal-hal di luar bandara yang memengaruhi?
Yang utama regulasi dan penegakannya. Misalnya ya tentang tatanan kebandarudaraan itu. Sekarang semua penerbangan menumpuk di Bandara Soekarno-Hatta, terutama di jam-jam sibuk. Sebenarnya kita masih punya slot kosong antara jam sembilan malam sampai jam lima pagi. Tapi maskapainya tidak ada yang mau. Kalaupun ada maskapai yang mau, bandara tujuan tidak buka. Soalnya kalau buka dan hanya melayani satu dua penerbangan, akan rugi.
Regulasi untuk pengembangan bandara juga harus ada dan ditegakkan. Misalnya soal pengadaan dan pembebasan lahan. Selama ini banyak terkendala di situ.
Dengan banyaknya permasalahan, seberapa menguntungkan bisnis di bandara?
Ilustrasinya begini. Banyak investor dari luar negeri seperti dari Arab, Jepang atau Eropa datang dan berminat mengelola Bandara Soekarno-Hatta. Saya bilang begini: “Kalau anda mau mengelola bandara AP II, kita uji dulu mengelola bandara di Tanjung Pinang atau Aceh yang belum menguntungkan”. Sampai sekarang tidak ada (investor) yang balik lagi.
Penulis | : | |
Editor | : | Kahfi Dirga Cahya |
KOMENTAR