“Hidup kami, termasuk seluruh karyawan, sangat tergantung pada alam,” tutur Rachmat Badruddin, presiden direktur Chakra Tea yang mengelola 8 perkebunan teh di Jawa dan Sumatra, yang dimulai dari 600 hektare Perkebunan Teh Dewata yang dibeli ayahnya, keluarga Badruddin pada 1956 dari perusahaan Belanda, Tiedeman van Kerchem.
“Setelah bencana alam itu yang longsornya nyaris mengenai bangunan utama pabrik, kami segera bangkit dari duka. Bekerja sama dengan BKSDA Jawa Barat membenahi longsoran, memindahkan 11 rumah di jalur rawan longsor dan kembali berproduksi.”
Sebelumnya, karena keteledoran, pernah terjadi kebakaran besar di komplek rumah karyawan. Lampu teplok terjatuh menyambar dinding rumah kayu. Tiupan angin kencang menghanguskan 32 rumah yang langsung dibangun lagi.
Jadi, bersikap hati-hati dan bersahabat dengan alam tak bisa ditawar. Perkebunan Teh Dewata kini menghasilkan 2.500 kilogram teh kering/hektare/tahun, meningkat pesat dibanding 600 kilogram/hektare/tahun saat diambil alih, selain bermitra dengan sekitar 6.000 hektare perkebunan teh rakyat yang didorong meningkatkan hasil secara ramah lingkungan.
Senja itu, usai berhening cipta, mengenang korban bencana dan berdoa agar bencana serupa tak terulang lagi, kami masuk ke ‘dapur’ pengolahan teh. Mengenal ragam teh premium yang–sayangnya –sebagian masih untuk konsumsi ekspor, dan memperhatikan bagaimana cara ‘empu’ melakukan tea tasting untuk teh bekerja menjaga mutu teh. Tak semudah yang dilihat ketika saya coba menghirup aroma teh kering dan teh seduh tanpa meneguk seluruhnya dari bersendok-sendok beragam teh itu.
Dengan syarat tertentu, Perkebunan Teh Dewata juga membuka ekowisata untuk tinggal di kawasan kebun dan menikmati keseharian di seputar kebun, pabrik teh dan Cagar Alam Gunung Tilu. Tentu menyejukkan hati melihat hewan-hewan liar seperti tupai terbang, yang menurut para staf, mudah dijumpai, hidup bebas di kawasan ini.
Dalam perjalanan pulang, saya berharap menangkap dua titik sinar mata macan tutul jawa (Panthera pardus) memperhatikan iringan kendaraan kami. Tentu saja ini keinginan berlebihan karena si mamalia terbesar yang masih tersisa di Jawa ini selalu menjauhi manusia. Macan tutul jawa tercatat menjelajah sekitar kawasan Gambung, Cipanji, Mandala dengan sebaran terbesar di Dewata. Bagi masyarakat, macan tutul bukan ancaman tapi dianggap hewan yang tak boleh diganggu. Tapi penebangan liar, bisa mengancam habitatnya.
Pada Juni 2009, dilaporkan situs www.bandungkab.go.id, sejak 1998 terjadi perambahan hutan 178 ha untuk ditanami cabai gendot di kawasan Cagar Alam Gunung Tilu yang sulit dicapai petugas. Penanaman sayuran ini bisa memicu tanah labil karena tak bisa menyimpan air.
Jalan tengah antara mencari nafkah dan pelestarian alam mesti ditempuh. Hidup itu seperti aur dengan tebing. Saling menguatkan.
Penulis | : | |
Editor | : | Kahfi Dirga Cahya |
KOMENTAR