Saat mengumumkan hasil survei tentang pendapatan rumah tangga usaha pertanian di Jakarta, Selasa, Kepala BPS, Suryamin menjelaskan survei dilakukan untuk periode sepuluh tahun yaitu tahun 2003 hingga tahun 2013.
Kepala BPS, Suryamin menambahkan, jumlah rumah tangga dengan usaha pertanian terus menurun akibat beberapa hal diantaranya alih profesi dan semakin sempitnya lahan pertanian karena alih fungsi lahan untuk pembangunan ifrastruktur, pembangunan pabrik dan perumahan.
"Rumah tangga yang menanam padi (di tahun) 2003 (sejumlah) 14,2 juta rumah tangga, sementara (tahun) 2013 turun menjadi 14,1 juta. Usaha tanaman kedelai menurun tahun 2003 ada satu juta, pada tahun 2013 hanya 700 ribu. Untuk usaha tanaman jagung juga terjadi penurunan (dari) tahun 2003 6,4 juta, pada tahun 2013 menjadi 5,1 juta," jelas Suryamin.
Penurunan juga terjadi untuk jumlah rumah tangga usaha peternakan dan perikanan. Selain itu Kepala BPS, Suryamin juga memaparkan pendapatan keluarga petani yang diakuinya memprihatinkan.
"Berasal dari usaha disektor pertaniannya ada enam sub sektor padi, palawija, perkebunan, peternakan, kehutanan dan perikanan dengan pendapatan per tahunnya Rp 3,57 juta, dari buruh diluar pertanian, jadi petani yang juga bekerja sebagai buruh diluar pertanian rata-rata pendapatannya Rp 3,27 juta per tahun per rumah tangga, dan yang terkecil dari buruh pertanian, pendapatannya itu Rp 1,82 juta per tahun per rumah tangga," kata kepala BPS, Suryamin.
BPS juga mencatat penurunan jumlah rumah tangga dengan usaha sektor pertanian terbanyak terjadi di Pulau Jawa, disusul Sumatera dan Kalimantan.
Menanggapi kondisi tersebut, kepada VOA di Jakarta, Rabu (2/7), Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan, Witoro mengatakan banyaknya petani beralih profesi disebabkan karena pemerintah tidak mendukung sehingga petani harus berusaha sendiri mulai dari pencarian lahan, pupuk, menghadapi kemungkinan gagal panen hingga penjualan hasil panen. Hal tersebut ditambahkannya membuat petani frustasi.
Intinya ditegaskannya, pemerintah tidak mau merasa sulit sehingga impor berbagai kebutuhan pangan sebagai solusi. Menurutnya jika terus menerus kondisi tersebut dibiarkan, target swasembada pangan di Indonesia akan gagal total.
"Karakteristik pertanian di Indonesia memang begitu, lahannya terbatas, kemudian jumlah petaninya banyak, kayaknya lebih suka, lebih gampang dan lebih menguntungkan membuka impor daripada harus mendukung petani kecil, jumlahnya banyak dan dirasa terlalu sulit untuk diatur dan nggak visible, nggak ekonomis," jelas Witoro.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR