Struktur baru Perang Dingin di kawasan Asia Timur sedang mencari bentuknya bersamaan dengan kunjungan Presiden Republik Rakyat Tiongkok Xi Jinping ke Seoul, Korsel, untuk bertemu Presiden Park Geun-hye, pekan lalu.
Struktur baru ini tidak hanya mencakup persoalan demiliterisasi Semenanjung Korea melalui denuklirisasi Korea Utara, tetapi memiliki cakupan luas bidang politik, keamanan, dan sekaligus ekonomi perdagangan.
Hasil pembicaraan kedua pihak secara jelas memberikan pesan tegas kepada Korut bahwa kedua negara bertetangga ini akan menentang pembangunan persenjataan nuklir di Semenanjung Korea. Langkah RRT harus dipahami sebagai acuan penting dalam melihat perubahan geopolitik dan strategi Tiongkok dalam menghadapi potensi konfrontasi dengan Amerika Serikat yang beraliansi dengan Jepang.
Kesepakatan Beijing-Seoul setelah kunjungan Presiden Xi memicu kekhawatiran sebagai petunjuk berubahnya komposisi aliansi strategis menghadapi perubahan politik keamanan di kawasan Asia Timur. Salah satu ancaman nyata yang bisa diidentifikasi adalah tuduhan "distorsi sejarah" yang ditujukan RRT-Korsel terhadap Jepang, yang juga melihat adanya persekutuan yang mengancam eksistensinya sebagai "negara normal".
Kita di Asia Tenggara menilai, ketika struktur baru Perang Dingin bisa menyediakan bentuk kondisi fisiknya, di mana nasionalisme setiap negara Asia Timur mempu mengembangkan akarnya, perubahan geostrategi di kawasan tersebut menjadi bentuk ancaman baru yang memaksa dan menebalkan aliansi-aliansi struktural.
Perubahan aliansi struktural ini dengan sendirinya bisa mengorbankan mekanisme resolusi konflik yang dijalankan oleh sistem Pembicaraan Enam Pihak (Six-Party Talks) sebagai satu-satunya mesin perdamaian yang mempertahankan stabilitas dan perdamaian di Semenanjung Korea.
Di sisi lain, perubahan geostrategi semacam ini akan menyeret perubahan geopolitik yang selama ini dikembangkan ASEAN melalui mekanisme KTT Asia Timur dan bahkan mengancam struktur ASEAN+3 sebagai forum dialog yang saling menguntungkan dalam mekanisme kerja sama dengan Tiongkok, Korsel, serta Jepang.
Konflik nasionalisme antara Tiongkok, Korsel, Jepang yang berakhir bersamaan dengan runtuhnya Perang Dingin—sangat mudah terbakar secara ideologis dan dapat menghidupkan kembali struktur Perang Dingin yang menghancurkan sendi-sendi perdamaian dan stabilitas kawasan Asia Timur.
Latar belakang yang menyuramkan ini menyadarkan kita perlunya tangan-tangan di Beijing - Seoul - Tokyo - Pyongyang - Washington meningkatkan koordinasi yang lebih luas dalam urusan regional.
Mereka perlu menyatukan kebijakan setiap pihak dalam mengidentifikasi bahaya keamanan dan ancaman perdamaian, meredakan ketegangan, membangun kepercayaan, dan menciptakan lingkungan geopolitik yang kondusif bagi pembangunan.
Ini semua menjadi inti konsep Strategi Keamanan Baru Asia yang dicananangkan Xi Jinping bulan lalu. Kita menyadari, konflik nasionalisme antarnegara tetangga akan menciptakan ketegangan berkelanjutan atas isu kedaulatan dan teritorial di mana setiap pihak akan melihatnya sebagai persoalan hidup-mati. Pepatah Tionghoa ada menyebutkan: zhi bao bu zhu huo, kertas tidak bisa membungkus api.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR