Nationalgeographic.grid.id—Ramadan telah melalui perjalanan panjang di negeri ini. Sejak lama, para bangsa Eropa telah menyaksikan suasana yang begitu berbeda dari bulan-bulain biasanya. Para muslim menggiatkan diri dalam ibadah-ibadah.
Sejak para santri didikan pesantren-pesantren di Jawa mulai menimba ilmu ke Mekkah dan kembali ke tanah air, mereka mulai memperkenalkan penanggalan hijriah, dan ilmu-ilmu Falak (astronomi).
"Pada masa inilah mereka mengenalkan Ilmu Hisab (Falak) kepada masyarakat, bahkan menggunakannya sebagai alat ampuh untuk melawan stagnasi kehidupan masyarakat di bawah penguasa pribumi yang feudalistik," tulis Azmi Muttaqin.
Azmi menulis kepada Journal of Islamic Studies and Humanities berjudul Determination of The Beginning of Ramadhan and Syawal In Indonesia, yang terbit pada tahun 2022.
Maka dari sana, kalender Hijriah mulai dipergunakan, sedangkan kalender Jawa mulai dipandang sebelah mata.
Akan tetapi, karena sistem pemerintahan adat Jawa pada khususnya merupakan pengejawantahan teori Imam al-Mawardi, yaitu bahwa fungsi negara merupakan kelanjutan dari tugas kenabian untuk memelihara agama dan mengatur dunia.
Oleh karenanya, muncullah seorang pejabat yang disebut Qadi (Penghulu). Sementara para penghulu pada waktu itu sebagian besar adalah alumni dari Mekkah.
Gerakan pembaruan falakiyah tetap berlanjut, yaitu dengan menggeser arah kiblat masjid, terutama masjid negara di kabupaten, dengan kemiringan 10 sampai 15 derajat ke arah utara.
Meskipun demikian, sistem penanggalan Jawa masih tetap digunakan untuk upacara-upacara keagamaan, seperti Sekaten dan sebagainya serta untuk pembacaan selapanan (yang dilakukan setiap 35 hari sekali pada hari yang sama).
Perihal penghitungan dimulakannya bulan Ramadan juga telah dilakukan rukyah oleh para Qadi. Para Qadi atau penghulu, kemudian bergabung dengan Perhimpoenan Panghoeloe Dan Para Pegawainya (PPDP).
Penentuan jatuhnya awal Ramadan, ditentukan sesuai dengan luas wilayah berdasar satu matla'. Dalam konteks ini, PPDP melalui Surat Edaran PPDP Hoofdbestuur tertanggal 25 Oktober 1938 menyebut seluruh wilayah pulau Jawa dan Madura merupakan satu matla'.
Baca Juga: Kemeriahan Kekaisaran Ottoman Jelang Ramadan dan Hari Raya Idulfitri
Source | : | Journal of Islamic Studies and Humanities |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR