Nationalgeographic.co.id—Selama ini, para peneliti sejarah peradaban manusia di seluruh dunia terus mencari jawaban atas pertanyaan mendasar mengenai kepadatan penduduk yang luar biasa di Kepulauan Asia Tenggara (ISEA) pada masa lampau.
Sebuah hipotesis kuat muncul, menyatakan bahwa pencapaian ini tidak mungkin terjadi tanpa adanya teknologi pelayaran yang jauh lebih canggih dari perkiraan sebelumnya, bahkan sejak era Paleolitikum.
Kini, berkat penelitian terbaru, para ahli mungkin telah menemukan jawaban yang mengejutkan. Studi-studi mutakhir ini mengungkapkan bahwa masyarakat purba di Filipina dan wilayah ISEA telah menguasai seni pelayaran jauh sebelum peradaban lain di belahan dunia lain mengembangkannya.
Bukti arkeologis yang sangat signifikan mendukung temuan ini, terutama berupa perkakas batu yang ditemukan di berbagai situs di Filipina, Indonesia, dan Timor-Leste.
Artefak-artefak ini memberikan indikasi kuat bahwa setidaknya sejak 40.000 tahun yang lalu, masyarakat di wilayah ini telah memiliki tingkat kecanggihan teknologi pelayaran yang menyaingi, bahkan mungkin melampaui, peradaban-peradaban yang muncul jauh kemudian.
Dalam sebuah studi bertajuk "Testing the waters: Plant working and seafaring in Pleistocene Wallacea" yang diterbitkan dalam Journal of Archaeological Science, pada 8 Februari 2025, para peneliti dari Universitas Ateneo de Manila secara berani menentang pandangan umum yang selama ini dipegang luas, yaitu bahwa kemajuan teknologi Paleolitikum berpusat di benua Afrika dan Eropa.
Upaya untuk membuktikan sejarah pelayaran purba bukanlah tugas yang mudah. Hal ini disebabkan karena bahan-bahan organik seperti kayu dan serat, yang kemungkinan besar digunakan untuk membuat perahu pada zaman Paleolitikum, sangat jarang bertahan dalam catatan arkeologi.
Namun, perkakas batu yang baru ditemukan ini menawarkan jalan baru untuk memahami teknologi tersebut.
Menurut penelitian terbaru, seperti dilansir Popular Mechanics, perkakas-perkakas ini menunjukkan jejak pengolahan tanaman yang mengarah pada "ekstraksi serat yang sangat penting untuk pembuatan tali, jaring, dan berbagai pengikat lain yang esensial dalam perakitan perahu serta untuk kegiatan penangkapan ikan di laut lepas."
Temuan-temuan lain seperti kail pancing, kail berlubang, pemberat jaring, serta sisa-sisa tulang ikan laut dalam seperti tuna dan hiu, semakin memperkaya gambaran situs-situs arkeologi ini sebagai pusat eksplorasi budaya bahari yang kuat.
Para penulis studi tersebut menyatakan bahwa, "Keberadaan sisa-sisa ikan pelagis predator besar di situs-situs ini mengindikasikan kemampuan untuk melakukan pelayaran tingkat lanjut serta pemahaman mendalam mengenai musim dan jalur migrasi spesies ikan tersebut."
Baca Juga: Seberapa Awetkah Bambu-Bambu untuk Pagar Laut Bisa Bertahan?
KOMENTAR