Lebih lanjut, mereka menambahkan bahwa kombinasi antara sisa-sisa ikan dan perkakas yang ditemukan "menunjukkan kebutuhan akan tali yang kuat dan berkualitas baik untuk digunakan sebagai tambang dan tali pancing dalam menangkap fauna laut."
Berdasarkan temuan arkeologi yang mengarah pada metode penangkapan ikan laut dalam yang canggih ini, para penulis studi meyakini bahwa para pelaut purba tersebut telah membangun perahu dari bahan-bahan organik yang kemudian mereka satukan menggunakan tali yang terbuat dari serat tanaman.
Teknologi pembuatan tali yang sama ini kemudian diadaptasi untuk mendukung kegiatan penangkapan ikan yang sebenarnya.
Meskipun keberadaan fosil dan artefak di berbagai pulau telah lama diterima sebagai bukti bahwa manusia modern awal telah mampu bergerak melintasi lautan terbuka, para penulis studi ini menentang teori yang selama ini dominan, yang menyatakan bahwa migrasi prasejarah hanyalah berupa penghanyutan pasif di laut menggunakan rakit bambu.
Sebaliknya, mereka berpendapat bahwa pergerakan tersebut merupakan hasil dari navigasi yang dilakukan oleh para pelaut yang sangat terampil, yang telah dilengkapi dengan pengetahuan dan teknologi mumpuni untuk melakukan perjalanan ke lokasi-lokasi terpencil di perairan dalam.
Para penulis studi tersebut menegaskan, "Identifikasi bahan pembuatan perahu, baik melalui bukti langsung maupun tidak langsung, merupakan hal yang krusial dalam memahami pergerakan di dalam dan di antara lingkungan kepulauan."
Dalam pernyataan dari pihak universitas, para penulis studi menyimpulkan, "Kehadiran teknologi maritim yang sedemikian canggih di wilayah ISEA prasejarah ini menyoroti kecerdikan masyarakat Filipina purba dan masyarakat tetangga mereka."
"Pengetahuan mereka dalam pembuatan perahu kemungkinan besar menjadikan wilayah ini sebagai pusat inovasi teknologi puluhan ribu tahun yang lalu, dan meletakkan fondasi bagi tradisi maritim yang terus berkembang di wilayah ini hingga saat ini," lanjuta para penulis.
KOMENTAR