Nationalgeographic.co.id—Ratusan ribu batang bambu terpancang sepanjang lebih dari 30 kilometer di perairan dangkal Tangerang, sebelum akhirnya dibongkar. Bambu-bambu itu memiliki tinggi sekitar empat sampai lima meter dengan bagian yang ditanam sedalam satu setengah meter.
Sebagai pagar laut, bambu-bambu pantas dipilih karena memiliki tingkat kelenturan yang tinggi dan kekuatan tarik yang tinggi, sehingga mampu menahan tekanan dan goncangan di lingkungan laut. Selain itu sifatnya yang ringan dan mudah digunakan, bambu memiliki keunggulan lebih mudah untuk diangkut dan dirangkaikan sehingga mengurangi biaya tenaga kerja dan waktu pemasangan—katakanlah bila dibandingkan terhadap penggunaan besi beton.
Apabila kita berasumsi bahwa bambu-bambu pagar laut tidak dibongkar dan tidak ada gelombang besar, berapa lama bambu-bambu itu mampu bertahan?
Dalam tradisi masyarakat Nusantara, bambu merupakan bagian dari kehidupan. Penggunaan bambu dalam arsitektur tradisional Nusantara, seperti gapura dan paviliun, menunjukkan betapa pentingnya bambu dalam kehidupan dan kebudayaan. Mereka telah memahami bahwa kandungan pati dalam bambu membuatnya mudah rusak karena rentan jamur dan ragi, dan hama seperti rayap atau kumbang bubuk kayu.
Pada awal abad ini tim arkeolog menemukan repihan bambu di Situs Liyangan, desa kuno yang terkubur erupsi Gunung Sundoro sekitar seribu tahun silam. Hasil pengukuran dari laboratorium menunjukkan bambu telah digunakan untuk konstruksi rumah pada abad ke-6 di Jawa.
Untuk membuat bambu lebih tahan dari serangan hama dan cuaca, mereka memiliki beragam cara: perendaman yang bisa dilakukan di kolam, sawah, parit, sungai, dan laut; pemanggangan, pengapuran, bahkan sampai penentuan waktu tebang bambu.
"Tanpa adanya perlakuan, secara alami bambu hanya dapat bertahan sekitar dua tahun atau bila terlindung dapat bertahan 4-7 tahun," tulis Broerie Pojoh dari Balai Riset dan Standardisasi Industri Manado saat mengungkapkan hasil studinya dalam Jurnal Penelitian Teknologi Industri pada Juni 2017. Tajuk penelitiannya, "Pengaruh Perendaman dalam Air Sungai dan Air Laut terhadap Daya Tahan Tulangan Bambu Petung Asal Tomohon".
Broerie melakukan perendaman bambu di air sungai dan air laut selama 60 hari. Hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa "perlakuan perendaman di dalam air sungai dan di dalam air laut menurunkan tingkat serangan jamur pada tulangan bambu."
Apabila kita membandingkan metode perendaman air sungai dan metode perendaman air laut, penelitian Broerie menunjukkan bahwa perendaman air laut cenderung lebih meningkatkan ketahanan tulangan bambu terhadap serangan rayap. Kendati tidak menunjukkan jangka waktu ketahanan secara spesifik, ia mengungkapkan, "Perendaman bambu di dalam air laut diduga akan meningkatkan daya awet bambu sampai puluhan tahun."
Pada dasarnya air laut yang memiliki kadar salinitas tinggi dapat meningkatkan tingkat keawetan bambu. Salinitas dapat mengurangi aktivitas mikroorganisme seperti jamur dan bakteri yang merusak bambu. Disamping itu, tingkat salinitas juga membantu dalam pengurangan kelembapan pada bambu, yang merupakan faktor penting dalam pertumbuhan jamur dan bakteri.
Berkait salinitas, Irwan Ismail mengungkapkan dalam Sifat Pengawet Air Laut pada Bambu Ampel Menggunakan Metode Boucherie-Morisco pada 2009. Metode ini merupakan teknik pengawetan bambu dengan menggunakan larutan pengawet yang disemprotkan atau dituangkan pada bambu melalui tekanan.
Baca Juga: Vitalnya Bambu Indonesia di Masa Dulu, Kini Andalan untuk Masa Depan
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR