Pokoknya, dia menggunakan cara yang lebih "muda", sementara saya dan wartawan Indonesia menggunakan sistem manual.
Itulah kisah yang tak terlupakan. Tapi ada pengalaman lain yang tak kalah menarik: Usai laga final, di mana Argentina mengalahkan Jerbar 3-2, kita terpisah dengan rombongan wartawan lain, karena ribuan orang menggelar pesta pora di mana-mana setelah kemenangan itu.
Akibatnya, kita akhirnya harus jalan kaki menuju hotel ketika malam tiba. Setelah sempat kesasar, yang memakan waktu antara 2 dan 3 jam, akhirnya kita sampai ke hotel dalam keadaan letih luar biasa.
Pertandingan yang menarik, tentu saja, ketika Maradona bikin gol "tangan Tuhan". Saya ada di stadion itu ketika kasus itu terjadi. Kita melihat kejadian itu, tapi tidak tahu perbuatan yang tidak seharusnya dilakukan Maradona.
Dia membuat gol dengan tangan. Kita tidak tahu kecurangan itu. Setelah melihat melalui televisi di luar lapangan, tetapi tetap di dalam stadion, barulah kami tahu: Maradona melakukan kejahatan.
Sampai sekarang, saya berpikir, dia bukanlah bintang sepak bola yang baik. Dia melakukan kejahatan. Dia bukan pemain yang patut diteladani, karena menghalalkan semua cara.
Piala Dunia 1986 di Meksiko merupakan liputan pertama saya di ajang piala dunia. Empat tahun sebelumnya, yaitu Piala Dunia Spanyol, rekan saya Valens Doy dan Kadir Yusuf yang meliputnya. Keduanya sudah almarhum.
Tetapi saya ingat: Valens suka sekali mengirim berita begitu panjang dalam bentuk teleks. Dia tentu saja ingin agar tulisannya yang panjang itu dimuat semua, tetapi rasanya tidak mungkin.
Valens memang luar biasa produktifnya. Dia mengirim teleks itu seperti layang-layang. Panjang sekali kertasnya. Cuma saja, saya harus bekerja setengah mati, karena saat itu saya tugas malam.
Saya bersyukur sebagian orang menganggap liputan duet Valens Doy dan Kadir Yusuf itu bagus sekali. Mungkin itu sebagian hasil kerja saya. Mudah-mudahan mereka tahu... ha-ha-ha...
A Sapto Anggoro
Mantan wartawan harian Republika, kini direktur operasional Merdeka.com
Kala Terbunuhnya De Bordes oleh Depresi, Jadi 'Sejarah Kecil' di Hindia Belanda
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR