Jatuhnya pesawat MH17 Malaysia Airlines Kamis (17/7) malam memang sebuah tragedi. Namun, setelah kabar mengenai rudal Buk yang menghantam pesawat tersebut, Ukraina dan Rusia saling menyalahkan.
"Tragedi ini tidak akan terjadi bila ada perdamaian di tanah ini, jika Ukraina tidak menggencarkan aksi militer di Ukraina bagian tenggara," ujar Putin, menurut pernyataan yang dikeluarkan Kremlin, Jumat (18/7), dilansir dari Kompas.com. "Dan tentunya, negara di mana peristiwa ini terjadi harus bertanggung jawab atas tragedi naas ini." Tak lama setelah pemberitaan ini, Ukraina membantah terlibat dalam peristiwa ini dan akan memberikan bukti Rusia terlibat dalam peristiwa jatuhnya pesawat ini.
Konflik antarnegara bukanlah sesuatu yang mudah diselesaikan. Bahkan Rusia dan Ukraina sendiri telah berkonflik sebelum tragedi pesawat MH17 terjadi. Bermula dari Rusia yang ingin menarik Ukraina kembali menjadi bagian dari negaranya, yang mengakibatkan kerusuhan di Ukraina.
Pasalnya, sekitar 450 ribu orang unjuk rasa di ibu kota Kiev menentang keputusan Presiden Viktor Yanukovych yang ingin menjalin hubungan bilateral lebih erat dengan Uni Eropa. Dia tidak mau mengkhianati perjanjian perdagangan dengan Rusia. Hingga menjelang pekan kedua Desember lalu, huru hara tak kunjung mereda dan malah semakin gencar.
Penerimaan pengunduran diri Perdana Menteri, pembatalan undang-undang anti protes, pemilu dipercepat, bahkan surat pemecatan atas sang presiden menuai kontroversi dan Rusia sempat mempertanyakan legalitas pemerintahan sementara Ukraina. "Akan sangat sulit bagi kami bekerja sama dengan pemerintahan dipilih dengan kekerasan," ujar Perdana Menteri Rusia Dmitry Medvedev. Bahkan Rusia mempersiapkan armada perang untuk menghadapi siatuasi Ukraina yang kian memanas.
Perseteruan antara Ukraina dan Rusia masih berlanjut, kali ini melibatkan Krimea. Berawal dari tuduhan atas angkatan laut Rusia yang menduduki Bandara Sevastopol, Krimea. Krimea adalah satu-satunya wilayah di Ukraina yang sebagian besar penduduknya beretnis Rusia.
Di bulan Maret lalu parlemen Rusia menyetujui penggunaan kekuatan militer di Ukraina untuk melindungi kepentingan Negeri Beruang Merah itu dan melindungi etnis Rusia di Ukraina. Keputusan itu diambil parlemen setelah kemarin tentara Rusia sudah mengambil posisi di Krimea, wilayah Ukraina, tempat armada angkatan laut Rusia bersiaga di Laut Hitam.
Krimea pun akhirnya menunjukkan keberpihakannya dengan Rusia. Pemerintah mereka menolak bernegosiasi dengan pemimpin baru ibu kota Kiev sebab dinilai tak punya legitimasi. Sekitar 93 persen suara telah mendukung Krimea bergabung dengan Rusia dan melepaskan diri dari Ukraina dalam sebuah referendum yang digelar tanggal 16 Maret lalu. Mayoritas dari 1,5 juta pemilih mendukung Krimea bergabung dengan Federasi Rusia, dan berharap akan adanya pertumbuhan ekonomi serta prospek bergabung dengan sebuah negara yang mampu menyatakan dirinya sendiri di panggung dunia.
Dan akhirnya Krimea benar-benar memihak pada Rusia dan meninggalkan Ukraina. Parlemen Wilayah Krimea menyatakan kemerdekaannya dari Ukraina dan meminta untuk bergabung dengan Federasi Rusia tanggal 17 Maret lalu.
Di tengah kebahagiaan kedua pihak ini, ketidaksetujuan masih ada di pihak negara lain. Indonesia salah satunya. Pemerintah Indonesia beranggapan bahwa pengambilan paksa daerah tersebut merupakan pelanggaran kedaulatan dan keutuhan wilayah Ukraina.
Tak hanya itu, Uni Eropa memperpanjang pembekuan aset dan larangan perjalanan bagi 12 pejabat Rusia dan Krimea yang diduga bertanggung jawab atas apa yang dianggap Barat sebagai penyitaan bekas wilayah Ukraina, Krimea, oleh Rusia.
Seruan Rusia lewat Menteri Luar Negeri Sergei Lavrov agar Ukraina memberikan otonomi bagi setiap wilayahnya merobek kemarahan mantan pemimpin Ibu Kota Kiev kini menjadi ketua oposisi Yulia Tymoshenko. Api membakar diri dan ucapannya. Dia pun lantang menyebutkan dirinya bakal membuat Istana Kremlin menjadi abu. Namun, amarah itu tak dapat menghentikan pengalihan waktu Krimea ke waktu Moskow.
Sampai kapan perseteruan ini akan berlanjut? Akankah pihak negara lain ikut bertindak dalam konflik ini?
Penulis | : | |
Editor | : | Dini |
KOMENTAR