Para peneliti mengatakan, beberapa daerah di otak bekerja dalam menentukan tingkat layaknya keadilan, tergantung pada seberapa bersalahnya si pelaku. Sering kali orang menuntut hukuman yang cepat dan parah, terlebih ketika kejahatan yang dilakukan menyangkut kekerasan fisik.
Lalu bagaimana otak bisa menyimpulkan sesuatu secara rasional? Dalam sebuah percobaan, 30 relawan membaca sebuah skenario berkisah John si protagonis yang menyakiti orang lain. Ada empat tingkatan kejahatan yang dilakukan John: kematian, melumpuhkan, serangan fisik, atau merusak properti.
Setengah dari skenario menyatakan John sengaja melakukan kejahatan tersebut. Sementara setengahnya menyatakan John tidak sengaja melakukannya. Saat membaca skenario tersebut, otak 30 relawan tergambarkan dengan sistem fungsional MRI untuk menentukan daerah otak yang aktif.
Ada kalimat, "Steve merosot ke bebatuan di bawah. Hampir setiap tulang dalam tubuhnya rusak. Jeritan Steve yang teredam oleh darah tebal yang mengalir dari mulutnya, dan ia berdarah sampai mati."
Ketika menemukan kejahatan berakibat kematian, para relawan lebih menuntut hukuman yang lebih besar daripada deskripsi faktual tanpa emosi.
"Hal ini benar adanya ketika para partisipan percaya bahwa kejahatan dilakukan dengan sengaja," kata Dr. Michael Treadway, rekan doktoral di Harvard Medical School, Boston dan pemimpin penulis studi. "Bahasa emosional provokatif kami tidak berpengaruh pada hukuman ketika kejahatan dilakukan tanpa sengaja."
Data neuroimaging dari para relawan menunjukkan bahwa ketika kematian disengaja, area-area di otak dikaitkan dengan nafsu emosi, seperti amygdala yang lebih aktif merespon grafis bahasa. Area-area tersebut juga menunjukkan komunikasi yang lebih kuat dengan daerah yang disebut korteks prefrontal dorsolateral, yang sangat penting dalam pengambilan keputusan hukuman.
"Jika kematian akibat ketidaksengajaan, amygdala tidak beraksi pada grafis bahasa dan tampaknya diatur oleh daerah otak lain yang terlibat dalam pengolahan maksud orang lain," Treadway menjelaskan.
Para peneliti menemukan daerah bernama sirkuit temporoparietal-medial-prefrontal, yang menahan impuls emosi dari amygdala, menggagalkan efeknya pada daerah penentu keputusan.
Penelitian ini dapat berimplikasi kepada interaksi sosial yang melibatkan resolusi konflik, bukan hanya kejahatan. Para ilmuwan mengatakan mereka tidak bisa menyatakan relevansi temuan tersebut lintas budaya dan waktu. Misalnya, di banyak daerah di dunia, orang-orang memaksakan hukuman berat untuk kejahatan yang tampaknya sepele, seperti memotong tangan orang kelaparan karena mencuri sepotong roti.
Penulis | : | |
Editor | : | Dini |
KOMENTAR