Nationalgeographic.co.id - Beberapa tahun belakangan, mahasiswa terdorong untuk mengejar bidang yang berunsur STEM (sains, teknologi, teknik, dan matematika). Pengejaran bidang ini mengakibatkan sifat kompetitif, lantaran mendapat dorongan akibat latar belakang masyarakat, seperti gender, ras dan etnis, kelas sosial.
Hal itu semua dilakukan demi mengembangkan jenjang karir, dengan menganggap materi yang membutuhkan nalar ini membawa janji gemilang untuk masa depan mahasiswa.
Sebuah studi tahun 2019, ternyata sifat kompetitif dari bidang STEM memiliki efek menurunkan kepercayaan diri pada mahasiswa tertentu secara drastis. Studi itu dipublikasikan di jurnal Social Psychological and Personality Science, berjudul Feeling Like an Imposter: The Effect of Perceived Classroom Competition on the Daily Psychological Experiences of First-Generation College Students.
Para peneliti membuktikan, anak pertama dari keluarga yang menjadi mahasiswa saat berkuliah, lebih rentan terkena imposter syndrome karena budaya kompetitif. Sindrom ini adalah perasaan akan tidak memiliki keterampilan atau kecerdasan untuk melanjutkan studi mereka.
Baca Juga: Studi Baru: Mahasiswa Menghindari Interaksi Sosial Saat Sedang Stres
Dalam lingkungan seperti itu, para peneliti dalam makalahnya, mahasiswa lebih cenderung membandingkan diri mereka sendiri dengan orang lain. Walau terkadang membandingkan bisa berdampak baik untuk memotivasi, tetapi seringkali justru merugikan diri sendiri. Hal itu sudah pernah diungkap dalam berbagai penelitian terdahulu sejak 1990 hingga 2018.
Mahasiswa anak pertama dari sebuah keluarga merasa rekan-rekannya adalah musuh, bukan sebagai rekan kerja atau kawan, ketika melihat keberhasilan dan kegagalan orang lain untuk menilai dirinya sendiri.
Temuan ini dilakukan dalam survei penelitian tersebut pada mahasiswa pertama dalam suatu keluarga yang berkuliah di beberapa perguruan tinggi. Ada 818 responden yang merupakan mahasiswa baru tahun kedua yang terdaftar di mata kuliah berunsur STEM di kampus besar Amerika Serikat.
Mereka diminta untuk mengisi survei, satu kali pada awal semester dan usainya masa perkuliahan. Mahasiswa diminta mengukur persepsi kompetisi pada kelas yang mereka ikuti, seperti "profesor sepertinya mengadu siswa satu sama lain secara kompetitif di kelas ini" dalam skala satu sampai tujuh.
Baca Juga: Peran Mahasiswa Al-Azhar dan Semangat Pengukuhan Kedaulatan Indonesia
Data demografis juga diambil, termasuk benarkah anak itu merupakan anak pertama dari suatu keluarga. Jika ada mahasiswa yang bukan, akan tetap menjadi pembanding kondisi.
Enam minggu memasuki semester, siswa dikirim survei lebih lanjut untuk diisi sertiap hari. Salah satu pertanyaannya adalah apakah mereka menghadiri kelas atau tidak. Bagi yang menghadiri, diminta untuk menentukan perasaan palsu yang ada pada mereka, lewat pertanyaan survei seperti "di kelas, saya merasa seperti orang yang mungkin tahu kalau saya tidak mampu berpikir seperti yang lainnya" dengan sekala satu sampai enam.
Para peneliti juga menanyai seperti seberapa banyak menghadiri kelas, berpikir untuk berhenti kuliah, dan bagaimana nilai mereka.
Hasilnya, mahasiswa yang merasa STEM adalah lingkungan yang kompetitif lebih mungkin membuat mereka merasa dirinya sebagai penipu rasa dan tidak mampu memenuhi tuntutan mata kuliah mereka. Hal ini signifikan dibandingkan dengan mahasiswa dari keluarga yang pernah memiliki kakak untuk berkuliah lebih awal.
Baca Juga: Terbuangnya Generasi Intelektual Indonesia Setelah Peristiwa 1965
"Penekanan pada kompetisi antarpribadi ini dapat sangat merugikan bagi mahasiswa anak pertama keluarga (FG), kelompok yang kurang terwakili di bidang STEM yang lebih menghargai komunalitas dan kolaborasi dibandingkan dengan rekan mereka yang bukan anak pertama (CG)," tulis para peneliti dalam makalah.
Para peneliti berpendapat, sifat persaingan ini bisa merusak. Mahasiswa generasi pertama dalam keluarga mereka dibesarkan dengan nilai-nilai komunal, mengandalkan orang lain daripada melihat mereka sebagai saingan.
Semua berubah ketika harus berada di lingkungan STEM yang kompetitif dan individualistis, dampak ini sangat merugikan mereka. Imposter syndrome pun telah memicu perasaan mereka.
"Ketika ditanya alasan mereka kuliah, mahasiswa FG lebih cenderung menyebutkan motivasi komunal (misalnya, menggunakan gelar akademis mereka untuk kelak membantu orang lain, membanggakan keluarga dan komunitas mereka)," terang para peneliti yang dipimpin Elizabeth Canning dari Department of Psychology, Washington State University, Pullman.
Baca Juga: Dari 1966 hingga 2020, Bagaimana Gerakan Mahasiswa Warnai Sejarah?
"Sedangkan siswa CG lebih cenderung membuat rangkaian alasan yang lebih mementingkan diri sendiri (misalnya, eksplorasi diri, menjadi pemikir independen)."
"Dengan demikian, persaingan dalam bidang STEm dapat memaksa mahasiswa untuk mengadopsi suasana, bertujuan melayani diri sendiri dan memperkuat persepsi umum bahwa bidang STEM cenderung tidak melayani motif membantu dan tujuan komunal yang mahasiswa FG sering inginkan."
Temuan lain dalam penelitian, ternyata identitas mahasiswa perempuan dan orang kulit berwarna juga lebih rentan terkena imposter syndrome. Misalnya, perasaan itu muncul karena dipicu bagaimana lingkungan sekitarnya harus mengeksplorasi identitas mereka berinteraksi dengan orang lain.
Terkait temuan ini, para peneliti menyarankan untuk menciptakan lingkungan pelajaran—khususnya bidang STEM-—yang ramah dan mendukung bagi semua orang, apa pun latar belakang mereka. Cara ini bisa membuat beragam dan inklusif, untuk mengembangkan strategi melawan ketidaksetaraan akademis.
Baca Juga: Polemik Sci-Hub: Penolong atau Penghambat Perkembangan Sains Dunia?
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR