Bila selama ini para pejalan sudah akrab dengan nuansa khas Pecinan milik Petak Sembilan di kawasan Glodok, tidak jauh dari Kota Tua, kini saatnya kita menggeser posisi ke Jakarta Barat, tepatnya di kawasan Krendang Raya.
Pada sebuah ruas jalan yang tidak bisa dibilang lebar, para pengguna motor, mobil sampai bajaj meramaikan suasana lepas petang di Krendang Raya, yang dapat ditempuh dari area Jembatan Lima. Di sepanjang jalan, mata akan dipuaskan oleh pemandangan aneka jajanan, kedai, warung dan restoran khas Tionghoa.
Saat menjelajahi kawasan ini, suasana menyambut Mid-Autumn Festival yang ditandai dengan kehadiran mooncake terasa kental [lebih detail tentang mooncake festival di sini]. Para penjaja kue menyiapkan mooncake dalam berbagai ukuran dan tentu saja, harga yang beragam. Sosoknya kuning keemasan dengan bermacam isian di dalam, dijadikan perlengkapan ibadat di klenteng sekaligus menjadi bagian dari bingkisan antaran ke rumah-rumah kerabat atau disantap sendiri.
Sementara beberapa toko menjual perlengkapan atau sesaji untuk berdoa, juga menjual berbagai makanan kering dan sayur-mayur. Beberapa bahan yang menimbulkan pesona bagi saya pribadi adalah pucuk daun pakis--karena tergolong langka di Ibu Kota Jakarta, pucuk rebung mini--di masa sekarang lebih banyak dipakai rebung kaleng karena bebas dari bau nan menyengat--serta udang rebon fermentasi yang mengingatkan saya pada rusip, khas Belitung.
Juga menarik buat dicermati, bahwa rata-rata hidangan yang dijajakan di kedai-kedai sini adalah khas Tionghoa Kalimantan. “Ini berbeda citarasa dengan masakan Tionghoa Medan,” jelas Paul Emas, seorang kawan pejalan yang menaruh perhatian khusus kepada hidangan Peranakan dan tradisional Nusantara. “Di Jakarta, masakan Tionghoa Medan banyak dijumpai di daerah Pluit, Muara Karang dan Duta Mas. Di sini, didominasi menu Tionghoa Kalimantan.”
Persinggahan kami pertama adalah Bubur Ikan Singkawang Akhian. Hidangannya membuat kenangan saya saat bepergian ke Pontianak dan Singkawang terobati. Rasanya sangat mirip.
Meski bernama bubur, bulir berasnya tetap terlihat nyata dan bila didiamkan cukup lama, gumpalannya semakin mirip nasi--sehingga saat disantap serasa makan nasi sup ikan. Isinya juga menggugah selera: fillet kakap nan tebal serta robekan selada. Ditaburi cincangan daun seledri, serta bawang putih tumbuk kasar ditumis minyak wijen. Hangat dan membuat lidah menari.
Hidangan lainnya adalah menu non-halal Nasi Campur A Con. “Citarasanya bukan manis, seperti nasi campur [Tionghoa] Medan, melainkan gurih,” komentar Paul. “Satu lagi, sambalnya bukan hanya cabai gerus, tetapi cabai dicampur belacan sehingga beraroma terasi, dan menambah rasa asin.”
Bagi penikmat hidangan ringan, ada beberapa opsi menarik. Seperti kichipan atau semacam kwetiau goreng campur telur [non daging], juice kacang hijau, susu kacang, es nona, es jeruk nipis sampai berbagai macam gorengan dan kue-kue berbahan dasar tepung beras, ketan atau terigu.
Yang disebut es nona berpenampilan serupa es doger, tetapi memiliki isi manisan pepaya mengkal, cincau berbau daun jeruk harum, kacang merah dan tapai singkong. Sedang minuman jeruk nipis di sini, tidak menggunakan jeruk nipis melainkan calamansi [khas Filipina] yang bercitarasa asam dan sedikit asin. Selain banyak dijumpai di Filipina, juga ada di Bangka-Belitung.
Bila Anda gemar berjalan kaki sembari mencicipi hidangan ini, paling tidak ada dua klenteng, tempat peribadatan, yang membuat aktivitas pelesir kuliner di Krendang semakin lengkap. Bagaimana, setuju bukan untuk menjadikannya sebagai salah satu destinasi wisata di Jakarta?
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Jessi Carina |
KOMENTAR