Terlepas dari ketersediaan maupun ketidaktersediaan pilihan hidup lain bagi Susi dan banyak pekerja seks komersial lainnya, dan terlepas dari pilihan hidup yang mereka jalani, mereka memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik, dengan mengesampingkan semua penilaian dan stigma.
!break!
Malaria, pelajaran berharga
Malam itu, dalam perjalanan pulang dari Kilo 10, saya mendapat kabar rekan seperjalanan saya, Maulana, demamnya semakin tinggi. Sudah dua hari terakhir Maul merasa demam serta kurang enak badan. Saya berdebar keras mendengar kondisi Maul, ini pasti malaria.
Mimpi buruk bagi pelancong, terutama di Papua yang memang daerah endemik. Padahal kami semua minum obat malaria dengan dosis pencegahan sebelum berangkat ke Papua.
Sebetulnya kami sudah sempat membawa Maul ke klinik setempat saat mulai demam, untuk pemeriksaan darah tepi. Namun diagnosa dari klinik setempat tidak menunjang diagnosa saya yang dari awal memang sudah curiga Malaria.
Belakangan saya ketahui, di daerah endemis, pendatang bisa saja menunjukkan gejala klinis yang berat seperti Maul, padahal jumlah parasit yang ada di tubuhnya masih sedikit dan sulit dideteksi melalui pemeriksaan darah tepi. Selain itu, konsumsi obat malaria dosis pencegahan juga ternyata dapat mengacaukan pemeriksaan darah tepi.
Beruntung malam itu saya ditemani oleh teman-teman tenaga kesehatan yang sudah lama bertugas di Papua. Dari mereka saya ketahui bahwa obat malaria yang saya berikan untuk Maul ternyata tidak sesuai untuk mengobati malaria di Papua, karena sudah terjadi resistensi terhadap obat tersebut. Dari mereka juga saya akhirnya mendapat akses obat malaria yang tepat bagi Maul.
Malam itu, sembari memperhatikan tetesan cairan infus yang saya pasang di tangan kiri Maul sebagai terapi suportif untuk mengganti cairan yang hilang saat demam, saya mensyukuri keputusan saya untuk mendengarkan saran tenaga kesehatan setempat, walaupun mereka bukan dokter.
Saya harus mengakui, sesaat setelah mereka mengemukakan bahwa obat yang saya berikan tidak sesuai, saya bingung bagaimana harus merespon. Ego saya tersentil. Segala rasa berkecamuk. Rasa malu. Rasa gagal. Rasa khawatir akan kondisi Maul. Untungnya suara hati saya untuk mengikuti anjuran para tenaga kesehatan setempat, terdengar lebih keras.
Bisa saya bayangkan, bila saat itu saya tidak mendengarkan anjuran mereka, kemungkinan besar kondisi Maul akan sangat buruk, bahkan fatal.
Bagi saya, kepulihan Maul serta pertanggungjawaban tindakan dan keputusan saya kepada Sang Khalik, diri sendiri dan Maul sebagai pasien saya, lebih penting dari rasa malu. Karena profesi yang saya jalani ini, terikat sumpah yang mempertaruhkan kehormatan diri saya.
Maka kali lain bila pun saya harus mendengar anjuran dari orang yang bukan dokter, demi kebaikan pasien, maka saya tidak akan ragu mempertimbangkannya, terutama dalam perjalanan, di mana mereka yang tinggal lebih lama kemungkinan lebih mengetahui karakteristik dan kondisi lingkungan.
Sebuah pelajaran yang mahal dan berharga melalui malaria yang derita Maul, yang kemudian pulih dalam waktu tiga hari.
!break!
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR