Nationalgeographic.co.id - Lebih dari satu dekade yang lalu, Gempa dan Tsunami Besar Jepang Timur merusak Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima Dai-ichi, mengakibatkan pelepasan besar-besaran bahan radioaktif ke lingkungan. Tingkat radiasi yang tinggi menyebabkan lebih dari 150.000 penduduk dari daerah yang diperkirakan seluas 444 mil persegi dievakuasi. Namun, meski penduduk dievakuasi, di sana masih ada hewan yang berada di Zona Ekslusi Fukushima dan terpapar radiasi dengan tingkat di ambang batas.
Sekarang, Colorado State University dan University of Georgia meluncurkan program mahasiswa pascasarjana bekerja sama Fukushima University's Institute of Environmental Radioactivity. Tujuannya untuk melakukan penelitian tentang efek paparan radiasi seumur hidup terhadap satwa liar. Hasil penelitian tersebut kemudian dipublikasikan secara daring di jurnal Environment International edisi Oktober.
Pada tahun 2016 dan 2018, tim peneliti multidisiplin mempelajari babi hutan dan ular tikus di berbagai paparan radiasi di Fukushima. Tim memeriksa biomaker kerusakan DNA dan stres, peneliti tidak menemukan efek kesehatan merugikan yang signifikan.
Kelly Cunningham, penulis pertama makalah dan lulusan baru dari program Doctor of Veterinary Medicine CSU, mengatakan, kesimpulan terbesarnya adalah bahwa mungkin orang tidak perlu takut untuk pindah kembali ke daerah yang diperbaiki setelah 10 tahun kecelakaan tersebut, mengingat paparan radiasi di lingkungannya rendah.
Rekan penulis, James Beasley, associate professor di University of Georgia's Savannah River Ecology Lab and Warnell School of Forestry and Natural Resources mengatakan, studi satwa liar relevan dengan manusia karena fisiologi manusia tidak begitu berbeda dengan babi hutan.
Baca Juga: Ular Ber-radioaktif Bantu Ilmuwan Melacak Dampak Bencana Fukushima
"Sementara tikus secara tradisional telah digunakan sebagai model biologi radiasi dari mana efek manusia diekstrapolasi, babi yang merupakan keturunan babi hutan, secara fisiologis lebih seperti manusia daripada tikus dan menjadi model biomedis yang lebih tepat," kata Beasley kepada Colorado State University News.
Namun demikian, Hiroko Ishiniwa, rekan penulis dan asisten profesor di Fukushima University mengatakan, penelitian itu harus membantu menjawab pertanyaan dari penduduk setempat. Di Fukushima ada banyak rumor tak berdasar tentang efek kesehatan yang terkait dengan radioaktivitas. "Dengan harapan dapat menjelaskan situasi tersebut, banyak masyarakat setempat yang ikut serta dalam kegiatan penelitian, termasuk menangkap babi hutan," katanya.
Thomas Hinton, rekan penulis makalah dan pensiunan profesor dari Fukushima University, mengatakan radiasi lingkungan menurun drastis setelah kecelakaan itu. Pada saat penelitian ini dimulai pada tahun 2016 hingga 2018, cesium-134, salah satu radionuklida utama yang dilepaskan dari kecelakaan tersebut, telah menurun sebanyak 90% karena waktu paruhnya yang pendek.
Pada penyelidikan kali ini, tim juga menilai penanda stres dan kerusakan DNA akibat paparan radiasi tersebut untuk mengetahui efek seumur hidupnya. Profesor CSU Susan Bailey, penulis senior makalah ini, adalah ahli dalam menilai penanda stres dan kerusakan DNA akibat paparan radiasi. Dia adalah penyelidik utama dalam Studi Kembar NASA yang inovatif, yang meneliti efek ruang angkasa pada astronot kembar identik Scott dan Mark Kelly sementara salah satu dari mereka tetap berada di Bumi selama misi luar angkasa. Bailey mempelajari telomer, atau "tutup" pelindung di ujung kromosom manusia, serta satwa liar.
Baca Juga: Perubahan Ekstrem di Pabrik Nuklir Fukushima Setelah Meledak Pada 2011
Source | : | Jurnal Environment International,Colorado State University News |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR