Hal itu dapat dicapai melalui kerja sama yang melibatkan masyarakat setempat, swasta, dan lembaga internasional dalam penelitian sehingga keuntungan dapat terbagi merata dan dinikmati bersama.
Seiring dengan gencarnya usaha industri farmasi dalam mencari sumber baru bahan baku kimia tumbuhan untuk mengembangkan obat, industri memusatkan perhatian pada negara dengan keragaman hayati tinggi seperti Indonesia. Berarti Indonesia dapat turut berpartisipasi dalam pertukaran barang, informasi, dan teknologi ke pasar dunia.
Negara industri maju perlu memenuhi kebutuhan sumber daya alam untuk kepentingan ekonomi, tetapi sebagian besar sumber daya hayati ada di negara berkembang. Sangat jelas bahwa kerja sama antarnegara sangat dibutuhkan untuk mengatasinya. Indonesia dapat menjalin kerja sama dengan industri farmasi internasional melalui dua cara.
Pertama, mengurangi peran bioprospeksi menjadi sekadar alat pencari uang. Namun, ekspor dan eksploitasi sumber daya alam skala besar dapat menyebabkan menurunnya persediaan bahan baku alam tanpa menghasilkan keuntungan dan teknologi apa pun. Dengan dukungan dari Konvensi Keragaman Hayati, pilihan kedua adalah mengelola secara komersial sumber daya alam yang dapat menghasilkan keuntungan buat masyarakat dan penduduk lokal.
Selain peluang, terdapat pula tantangan bagi Indonesia. Paling tidak terdapat dua tantangan Indonesia. Pertama, pembentukan otoritas nasional pengelolaan dan perlindungan sumber daya di Indonesia. Bentuk kelembagaan ini bersifat multisektor karena sifat sumber daya genetika di berbagai habitat yang mencakup perairan dan kelautan, pertanian, kehutanan, serta penelitian/ilmu pengetahuan. Keanggotaan lembaga terdiri dari pemangku kepentingan dan instansi terkait. Kedua, pembentukan standar baku atau prosedur operasi standar (SOP) naskah akses dan pembagian manfaat sumber daya genetika serta perjanjian transfer materi biologik (material transfer agreement).
Perlu sinergi
Sinergi institusi pengelola perlu agar tercipta tata kelola dan perlindungan sumber daya genetika di Indonesia yang holistik. Langkah selanjutnya adalah kerja keras dari negara dan masyarakat untuk mewujudkannya. Tanpa sinergi antara negara dan masyarakat, amat sukar untuk mewujudkan tata kelola dan perlindungan sumber daya genetika yang holistik di Indonesia.
Pembangunan industri yang memiliki nilai tambah sangat penting untuk membangun kapasitas di bidang teknologi. Meliputi pelayanan yang berhubungan dengan identifikasi sampel, ekstraksi kimia, dan investigasi sampel.
Penambahan nilai pada sumber daya biologi tidak saja meningkatkan kapasitas teknologi, tetapi juga meningkatkan kompensasi perekonomian.
Misalnya, di industri farmasi keuntungannya 1-6 persen untuk sampel yang belum diidentifikasi, 5-10 persen untuk sampel yang telah diidentifikasi, dan 10-15 persen untuk sampel yang memiliki informasi ilmiah. Penguatan kapasitas ilmiah dan teknologi di Indonesia dapat mendukung formulasi kerja sama dengan industri di negara maju dan juga menempatkan Indonesia untuk mengendalikan sendiri sumber daya alamnya.
Apakah perjanjian ini akan bermanfaat bagi Indonesia? Tentu saja ya. Keanggotaan negara akan menegaskan penguasaan negara atas sumber daya genetika serta kedaulatan negara atas pengaturan akses dan pengetahuan tradisional dari masyarakat hukum adat dan komunitas lokal, sejalan dengan Pasal 33 dan Pasal 18 UUD 1945. Selain itu, juga mencegah biopiracy dan pemanfaatan tidak sah (illegal utilization) terhadap keragaman hayati.
Oleh JATNA SUPRIATNA
Pengajar Biologi Konservasi, Universitas Indonesia & Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR