Terkait rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI) mendorong keseriusan pemerintahan Jokowi untuk lebih mengembangkan energi baru terbarukan (EBT). Peningkatan penerimaan negara dari pengurangan subsidi BBM harus dapat dialokasikan dengan porsi yang sesuai untuk mengembangkan EBT.
"Ke depan energi baru terbarukan adalah solusi yang tepat untuk kemandirian energi di negara ini," ujar Direktur Eksekutif Yayasan KEHATI, MS Sembiring, di kantornya, Senin (3/11).
Dalam pandangannya, BBM yang berasal dari timbunan fosil itu cenderung sudah tidak sesuai secara ekologi maupun ekonomi.
Harga minyak bumi yang fluktuatif akan selalu memengaruhi iklim ekonomi Indonesia. Kemudian dari sudut pandang ekologi, residu minyak bumi cenderung merusak lingkungan dan ketersediaannya semakin menipis.
Data menunjukkan bahwa sejak tahun 2010 jumlah konsumsi BBM di Indonesia terus merangkak naik. Pada tahun 2010 tercatat konsumi BBM mencapai 38,2 juta kiloliter (kl). Jumlah tersebut naik signifikan menjadi 46,4 juta kl pada tahun 2013. Kemudian di tahun 2014 hingga bulan Oktober jumlah konsumsinya sudah mencapai 38,4 juta kl.
Konsumsi yang meningkat ini sejalan dengan jumlah subsidi yang diberikan. Dari subsidi BBM Rp 82,4 triliun di tahun 2010, nilainya merangkak naik hingga di tahun 2013 mencapai angka Rp 210,0 triliun. Kemudian pada tahun 2014 ini sesuai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) nilai subsidi BBM sebanyak Rp 246,5 triliun.
Bioenergi
Melihat dinamika minyak bumi tersebut, pemerintah memang sejak lama sudah berusaha mencari energi alternatif. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 yang memuat rencana pengelolaan energi hingga tahun 2025, Indonesia memberikan porsi 17% bagi EBT. Salah satu cabang dari EBT tersebut adalah bioenergi.
“Karena keragaman hayati kita yang besar, bioenergi ini perlu didorong terus dan diperlukan keseriusan yang lebih untuk dapat menjadikannya sebagai energi pengganti. Sehingga ke depan ketergantungan akan minyak bumi bisa dikurangi," kata Sembiring. Hingga saat ini, riset-riset terkait bioenergi juga sudah banyak dilakukan dengan hasil yang memuaskan.
Kemudian, yang cukup baru adalah MoU dari Kementerian Kehutanan dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terkait penggunaan ratusan ribu hektare HTI (Hutan Tanaman Industri) untuk budidaya tanaman bioenergi.
Meski demikian, berdasarkan kajian supply demand energy Kementerian ESDM, potensi EBT masih belum dimaksimalkan. Tercatat, meskipun ada kenaikan 7% produksi EBT dari tahun 2011 ke 2012, akan tetapi produksi energi di tahun 2012 masih didominasi oleh energi fosil yang mencapai 85%. Dalam kajian itu juga diungkapkan bahwa penggunaan EBT sebagai energi alternatif masih di bawah 10%.
Padahal, dari sisi bioenergi, Indonesia masih menyimpan potensi biomassa sebanyak 49.810 MW. Oleh karena itu, pengalihan subsidi BBM seharusnya tidak hanya untuk membangun infrastruktur saja akan tetapi juga untuk membangun EBT.
Dalam pandangan Yayasan KEHATI, aplikasi bioenergi ini bisa dimulai dengan serius di tingkat desa. Beberapa tahun lalu, pada salah satu program Yayasan KEHATI di Kabupaten Sumba Timur telah berhasil mendorong pemanfaatan biogas dari kotoran ternak untuk menjadi biogas skala desa.
Upaya ini kemudian menajdi indsirasi pemerintah daerah untuk mereplikasi di desa-desa lainnya. Dari sisi pemerintah sendiri Desa Mandiri Energi sudah dicanangkan dan dijalankan, bahkan lebih spesifik lagi, Kementerian ESDM program Bio Energi Perdesaan (BEP), yaitu suatu Program BEP-Biogas Skala Rumah Tangga.
"Jika semua desa sudah mampu mandiri secara energi, maka beban konsumsi BBM akan cenderung berkurang," kata Sembiring. Apalagi dengan adanya Undang Undang Desa yang merujuk pada pemberian dana miliaran rupiah untuk desa, program EBT di tingkat desa harus bisa direalisasikan.
Berkaca pada keberhasilan Brasil dalam program EBT mereka, Indonesia seharusnya bisa melakukan hal yang sama.
"Potensi keanekaragaman hayati di Indonesia sangat banyak untuk diolah menjadi bioenergi. Oleh karena itu, berbekal keseriusan dan ketegasan pemerintah, maka perkembangan bioenergi bisa meningkat pesat," katanya.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR