Debu ini sebelumnya telah ditafsirkan sebagai hasil dari dampak kecepatan tinggi (hypervelocity), sehingga Schneiderman dan rekan-rekannya memutuskan untuk melihat lebih dekat pada karbon monoksida di sekitar bintang tersebut.
"Ketika orang-orang ingin mempelajari gas dalam piringan debu, karbon monoksida biasanya paling terang, dan dengan demikian paling mudah ditemukan," kata Schneiderman. "Jadi, kami melihat data karbon monoksida untuk HD 172555 lagi karena ini adalah sistem yang menarik."
Mereka menemukan bahwa ada cukup banyak karbon monoksida yang mengorbit bintang tersebut pada jarak yang sangat dekat yang tidak biasa, yakni sedekat 10 satuan astronomi. Pada jarak ini, gas seharusnya terpecah oleh radiasi bintang, yang berarti diperlukan penjelasan atas hal yang tidak biasa ini.
Baca Juga: Empat Teori Aneh Stephen Hawking, Tetapi Hari Ini Terbukti Benar
Menurut pemodelan tim peneliti, itu adalah akibat tumbukan atau tabrakan raksasa. Mereka bahkan dapat mempersempit kapan dan bagaimana hal itu terjadi.
Setidaknya 200.000 tahun yang lalu sebuah planet berbatu seukuran Bumi ditabrak oleh benda yang lebih kecil dengan kecepatan 10 kilometer per detik. Ini adalah waktu yang cukup baru dalam astronomi sehingga karbon monoksida belum punya waktu untuk terurai.
Tabrakan ini akan sangat dahsyat sehingga meledakkan setidaknya sebagian dari atmosfer planet berbatu itu. Hal ini akan menjelaskan penyebab keberadaan debu yang kaya silika dan karbon monoksida itu.
"Dari semua skenario, itu satu-satunya yang bisa menjelaskan semua fitur data," tegas Schneiderman yang telah mempublikasikan laporan studi atas tabrakan raksasa ini di jurnal Nature pada 20 Oktober 2021.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Source | : | Nature,Science Alert |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR