Sejumlah keluhan disampaikan para nelayan Pulau Maratua, salah satu pulau terdepan di Indonesia. Mereka mengeluhkan harga bahan bakar minyak (BBM) yang tinggi, sementara ketersediaannya terbatas.
Salah seorang nelayan, Nohar (53), mengatakan, sepanjang 30 tahun menjadi nelayan di pulau itu, kesulitan terbesar adalah mendapatkan solar untuk kapalnya.
"Saya enggak tahu kenapa di kecamatan kami (Kecamatan Derawan) ini tidak pernah ada jatah solar untuk nelayan. Padahal, pekerjaan warga di sini semuanya mencari ikan," ujar Nohar, Rabu (26/11) lalu.
Nohar mengisahkan, untuk mendapatkan solar, ia pernah harus ke Tanjung Redeb dengan jarak tempuh dua jam perjalanan jalur laut. Di sana terdapat stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU). Akan tetapi, dia hanya diperbolehkan membeli solar sebanyak dua jeriken atau 40 liter dengan alasan takut disalahgunakan oleh nelayan.
"Solar segitu hanya cukup untuk kembali lagi dari Tanjung Redeb ke Pulau Maratua. Buat melaut ya enggak bisa, minimal sekali melaut itu dua drum solar," ujar Nohar.
Akhirnya, Nohar dan para nelayan lainnya terpaksa membeli solar di calo. Calo-calo biasa menjajakan solar menggunakan ketinting (kapal kayu) di Sungai Enggah. Ia harus merogoh kocek cukup dalam, Rp 1,5 juta per drum solar.
Kini persoalan bertambah. Selain stoknya yang sangat minim, pemerintah menaikkan harga BBM. Sejak kenaikan harga BBM berlaku pada 18 November lalu, dia belum pergi melaut. Dia hendak mengumpulkan teman-teman sesama nelayan untuk patungan membeli solar kapal.
"Pak Jokowi, tengoklah kami-kami para nelayan di pulau terluar, bagaimana kondisi kami. Kami mau harga solar murah untuk nelayan, dan stoknya tersedia terus. Itu saja," harap Nohar.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR