Sistem peringatan dini bencana tanpa kesadaran warga akan kepentingannya tidak akan mampu mengurangi risiko bencana. Malah, sistem peringatan dini bisa dituding sebagai perangkat yang hanya bisa menakut-nakuti.
Contoh nyata hal terjadi di Banjarnegara, Jawa Tengah, terkait bencana longsor yang berulang kali terjadi di wilayah itu. Sistem peringatan dini longsor sudah dipasang di beberapa wilayah namun warga menganggapnya tidak membantu.
"Warga beralasan, alat tersebut cuma bikin deg-degan," kata Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data dan Hubungan Masyarakat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dalam konferensi pers, Senin (15/12).
Warga menganggap sistem peringatan dini membuat deg-degan karena seringkali ketika sirene berbunyi, longsor tidak terjadi. Sutopo menerangkan, warga beranggapan bahwa setiap sirene berbunyi seharusnya longsor memang benar-benar terjadi.
Akibat menganggapnya tak membantu, banyak sistem peringatan dini longsor berubah fungsi. "Ada yang roboh, jadi tempat jemuran, dan ada yang dipakai untuk mengikat hewan ternak," ujar Sutopo.
Peneliti sosiologi bencana Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Irina Rafliana, mengatakan, hal itu mencerminkan warga belum memiliki pemahaman tentang peran sistem peringatan dini."Tapi kita juga tidak bisa menganggap bahwa warga apatis," katanya.
Menurutnya, masalah itu muncul sebab ada yang terlewat dalam pengenalan dan pengawasan sistem peringatan dini. Pengenalan tidak mempertimbangkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya alat, fungsi, dan penjagaannya.
"Kita datang dengan pikiran bahwa alat itu berguna untuk kepentingan masyarakat. Tetapi apakah masyarakat menyadari pentingnya alat itu," imbuh Koordinator Pendidikan Publik dan Kesiapsiagaan Masyarakat LIPI ini.
Niat baik memperkenalkan sistem peringatan dini bencana, bagaimana pun, adalah intervensi pada sistem sosial masyarakat setempat. Pihak yang mengenalkan seharusnya melihat apakah intervensi itu diterima oleh warga.
Melakukan pengukuran pemahaman masyarakat tentang risiko bencana serta peran sistem peringatan dini, kata Irina, perlu jeli. Bila tidak, pengukuran terjebak pada permukaan dan tidak mampu memperlihatkan kenyataan yang sebenarnya.
"Sebagai contoh tahun 2006 ada survei bahwa warga Padang punya kesiapan lebih tinggi terhadap bencana gempa. Tetapi pada gempa tahun 2009 kesiapsiagaan itu tidak bisa ditunjukkan," ungkapnya kepada Kompas.com, Selasa (16/12/2014).
Irina mengungkapkan, seharusnya bisa dilihat, sejauh mana bencana, sejarah peristiwanya, dan sistem peringatan dini diperbincangkan di tingkat warga. Hal itu bisa membantu mengukur pemahaman warga.
Sutopo mengatakan pentingnya pendekatan budaya untuk mengurangi risiko bencana. Namun, ia juga menuturkan pentingnya dukungan kepada Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) yang selama ini terbatas dalam dana dan sumber daya manusia.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR