Wisata di pulau seluas 509 kilometer persegi ini tampaknya baru dalam tahap pemetaan, sama sekali belum dikelola. Pantai-pantai bisa diandalkan, namun masih sebatas tempat berleha penduduk setempat. Saya menyukai Pantai Watotena yang berpasir putih. Bebatuan magmanya berformasi unik.
Penelusuran di Adonara pun menarik saya pada kisah eksÂplorasi penjelajah Eropa. Jalan lengang yang diapit pepohonan nyiur dengan daun menutupi langit adalah setting pas jika ingin berimaji tentang "pencarian dunia baru".
Kampung kecil bernama Wure nyata beraroma laut, tampil bestari oleh gereja-geraja mungil yang fondasi tambonya juga diprakarsai oleh para kelasi kapal Portugis. Sebuah salib Cruz de Aviz yang merupakan simbol Raja Portugal dari dinasti kedua terpancang di jalur ziarah tepi laut.
Pengalaman menggetarkan di Wure terjadi tatkala saya diantar untuk melihat patung kayu Kristus Berduka di kapela Cruz Costa. Berumur ratusan tahun, patung tersebut setinggi badan pria dewasa, rona sengsara penuh bilur, dan tatapan matanya begitu hidup tertuju ke arah saya, membuat merinding.
Penjaga kapela ini, Bapa Domi, menunjukkan sikap hormat teramat dalam setiap ia hendak menunjukkan pusaka suci kapela. Seakan-akan tiada yang lebih berarti dalam hidupnya selain mengurusi kapela kecil ini. "Sejak remaja hingga umur hampir 80 tahun sekarang, saya tidak bisa memisahkan diri dari Cruz Costa. Pernah beberapa kali pergi jauh, tetapi hati saya selalu menyuruh untuk pulang."
!break!PULAU SOLOR bernaung awan kelabu saat saya menjejakinya. Sebagian perbukitan tertutup kabut. Jalan aspalnya yang luka menyiratkan kesan angker lantaran kerap dibumbui kompleks pekuburan di sisi kiri kanan. Pulau ini aneh, jejeran pusara lebih gampang ditemui ketimbang kampung-kampungnya. Seorang ibu menyarankan saya untuk mengunjungi Karawatung. "Rumah-rumah adat di sana banyak," katanya.
Lokasi kampung Karawatung berada di tengah ladang, terpisah dari permukiman, dan tidak dihuni siapa-siapa. Padahal, astaga, kampung ini terisi hampir dua puluh rumah tradisional!
Karawatung disebut sebagai kampung komunal perdana sekaligus terbesar di Solor. Karenanya, ritual adat selalu diselenggarakan di sana. Yang paling ditunggu-tunggu warga yakni Berauk, upacara syukuran massal yang dihelat usai panen. Dimulai dengan pencarian hari baik (elo) oleh kepala adat dengan memantau posisi bulan, disusul pengirisan nira untuk minuman (tada tua keli) dan pembagian jawawut sebagai simbol kesuburan (seo wata blolon). Puncak ritual Berauk ditandai dengan datangnya semua warga ke kampung Karawatung, baik yang di Solor maupun yang merantau. Selain doa dan tarian, pokok dari Berauk yakni pembagian lori, nasi yang dibentuk bulat-bulat, kepada tiap kepala keluarga.
KAPAL MEMBAWA SAYA kembali ke Larantuka. Bayang-bayang menjulang gunung Ile Mandiri, Ile Boleng, dan gunung kembar Lewotobi meretas pikiran saya akan kemasyhuran silam daerah ini. Saya sadar, baik Larantuka, Adonara, maupun Solor, ketiganya pernah memainkan peranan besar bagi peradaban Flores.
Akankah tempat-tempat ini sekadar dikenang sebagai tilas-tilas? Sekadar remah-remah sejarah? Pikiran saya pun beradu cepat dengan desir angin, hilang-muncul antara kronik masa lalu dan harapan masa depan Nagi Tanah.
Pemutihan pada Terumbu Karang, Kala Manusia Hancurkan Sendiri Benteng Pertahanan Alaminya
Penulis | : | |
Editor | : | Oik Yusuf |
KOMENTAR