Sekarang saya tahu kenapa pulau ini dinamakan Flores! Claire berseru nyaring di antara desau angin. Kami mengendarai sepeda motor menuju Danau Asmara, sebuah telaga sunyi di kepala Nusa Bunga, sekitar 25 kilometer dari Larantuka. Pada sebuah titik teduh di tepi laut tanpa ombak, gadis asal Prancis yang menjadi tandem saya itu mencuci alas kakinya yang berlumpur.
"Kamu tahu? Daerah kami, Bretagne, di utara Prancis, memiliki suasana serupa tempat ini. Kesyahduan di mana-mana, laut tenang jernih, alam yang masih perawan terbingkai tradisi lokal yang mistis."
Ia mengikat rambut pirangnya. "Kecuali satu hal, di sini suhunya lebih hangat."
Saya mendengarkannya dengan diam, menikmati sapuan lembut angin pada kulit saya yang berkeringat karena terbungkus jaket sedari tadi. Musim penghujan di awal tahun memberikan kesan tersendiri bagi perjalanan di sekitar Larantuka. Pohon-pohon Flamboyan memekarkan bunga merah menyalanya, antara hijau dedaunan dan birunya laut. Begitu mencuri perhatian. Apalagi di wilayah paling ujung bernama Tanjung Bunga. Barisan kanopi flamboyan menjatuhkan kelopak-kelopaknya seumpama perayaan musim gugur.
"Ya, agaknya saya juga tahu asal nama Flores," balas saya.
Banyak orang berspekulasi tentang nama Flores. Ada yang menyebut bahwa kata Flores yang berasal dari bahasa Portugis dan bermakna \'bunga-bunga\' itu muncul sebagai sanjungan akan keindahan terumbu karang, bukan oleh kembang tanaman yang memang jarang ditemui di daratan.
Sayangnya, sedikit saja yang mau mengorek lebih dalam sejarah penamaan pulau ini. Pelayaran bangsa Portugis menuju Timor telah dimulai ketika Antonio de Abreu memimpin ekspedisi pada 1515. Dalam laporan pelayaran, Relatório da Navegação, yang disampaikan ke Melaka, Antonio menyebutkan bahwa mereka menyinggahi pulau dengan tanjung penuh bunga (cabo das flores) sebelum akhirnya berlabuh di Pante Macassar, Timor (dulu Vila Taveiro, kini disebut Oecussi). Pelayaran ini bermula dari Ternate, sebulan setelah hujan terus-menerus mengguyur daerah itu sejak malam pergantian tahun (véspera de ano novo).
Tak salah lagi, sebulan setelah malam pergantian tahun adalah bulan Februari. Dan itu merupakan saat klimaks pohon-pohon flamboyan bermekaran di sekitar Larantuka. Selang tiga dekade, SM Cabot menggunakan frasa \'Cabo das Flores\' untuk mengidentifikasi tempat yang disebutkan Antonio. Frasa ini sebenarnya hanya ditunjukkan untuk wilayah timur pulau. Kemudian hari, tepatnya pada 1636, Hendrik Brouwer, Gubernur Jenderal Belanda, secara resmi memakai nama Flores sebagai denominasi seluruh bagian pulau, yang sejatinya bernama Nusa Nipa pada era kejayaan Majapahit.
KAMI TIDAK BISA menyentuh air Danau Asmara. Telaga itu dibekap pepohonan lebat. Satu-satunya cara menikmatinya adalah melihat dari atas tebing yang melingkar seperti cincin. Area ini digaduhi monyet jenis Macaca fascicularis serta cicit unggas liar.
Kembali ke Larantuka, saya dan Claire menuju bagian kota bernama Weri, di mana Mama Guntilda akan mengajari Claire membuat kue rambut, penganan khas Flores Timur. Awal perkenalan dengan Mama Guntilda terjadi secara kebetulan tadi pagi di pasar kota. Perempuan paruh baya ini adalah pedagang kue. Melihat antusiasme Claire akan kue rambut, ia mengundang kami mampir ke rumahnya sore ini.
"Kue Rambut lebih sering disebut bolo kekera," Mama Guntilda memulai aksinya. Ia amat jenaka, dan selalu memungkasi kalimatnya dengan tawa. Claire sibuk memotret dan mencatat bahan-bahan kue. Tepung beras, gula aren, kanji, dan santan kelapa. Pembuatannya ringkas. Semua bahan dicampur hingga agak mengental. Lantas digoreng. Bentuk rambut didapatkan dari kaleng bekas yang sudah dibuat lubang-lubang kecil. Di situ adonan dituang, lalu disiram maju mundur ke dalam penggorengan. Sesegera mungkin ambil sendok untuk melipat kuenya. Tahap menyiram adonan kemudian melipat-lipat inilah yang membuat Claire kerepotan. Toh, dia berhasil juga, dan disambut tarian lucu Mama Guntilda.
"Kalau sudah pintar bikin kue rambut, artinya Oa siap berumah tangga," gurau Mama Guntilda yang disambut derai tawa seisi rumah. Di Larantuka, orang memanggil para gadis dengan sebutan \'Oa\'.
Kami pulang ke penginapan membawa sekantung penganan. Hotel Asa, tempat tetirah kami, memiliki kamar inap yang unik berwujud kapal kayu, dibangun di tepi pantai. Kami mengantar perginya Matahari di atas boat-room tersebut, sembari menyeruput kopi, dan tentu saja mencicip kue yang kami bawa.
!break!
NAGI TANAH, demikianlah orang-orang menyebut Larantuka. Banyak ungkapan kalbu yang tertuang sebagai bentuk kecintaan kepadanya. Umumnya lewat lagu. Sebut saja, Bale Nagi, lagu klasik yang telah dinyanyikan dalam beragam versi, namun isinya sama, yaitu pernyataan rindu akan Larantuka.
Penulis | : | |
Editor | : | Oik Yusuf |
KOMENTAR