Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Surono menyatakan, gunung api di kawasan Maluku Utara cenderung reaktif. "Keaktifan gunung di kawasan itu dipicu amat aktifnya gerakan lempeng tektoniknya. Setelah gempa 7,3 skala Richter pada 15 November lalu, saya minta aktivitas gunung apinya diwaspadai," ujarnya.
Reaktifnya Gunung Gamalama ini, lanjut Surono, karena sistemnya sudah terbuka. "Ini seperti mengocok kaleng soda. Dengan sedikit guncangan, tekanannya cepat tinggi sehingga terjadi letusan meski magma belum terisi penuh," katanya.
Dengan sistem terbuka itu, letusan Gamalama diprediksi tak akan besar. "Dengan skala letusan itu, ancamannya adalah hujan abu. Meski untuk penerbangan, itu bisa jadi gangguan fatal. Karena itu, sejak lama kami mengusulkan pemindahan ibu kota Maluku Utara, juga lokasi bandara," kata Surono.
Namun, Gamalama amat berbahaya jika terjadi penyumbatan lava sehingga energi terakumulasi. Jika itu terjadi, letusan Gamalama bisa besar, bahkan muncul di tempat lain, di tubuh gunung, sebagaimana terjadi di masa lalu. "Gamalama berbahaya jika terjadi letusan samping mengingat Kota Ternate tidak berada di kaki gunung, tapi di punggungan gunung. Kaki Gamalama di dasar laut," ujarnya.
Menurut catatan dalam buku Data Dasar Gunung Api Indonesia (2011), aktivitas Gamalama mematikan. Sejak 1538 hingga 2014, Gamalama meletus 69 kali dengan rentang waktu letusan 1 tahun hingga 50 tahun. Salah satu letusan paling besar tercatat terjadi 7 September 1775.
Letusan itu mengakibatkan terbentuknya danau kawah Tolire Jaha dan memusnahkan Desa Soela Takomi yang terletak 1,5 km dari Kelurahan Takoma, Ternate. Sebanyak 141 warga Desa Soela Takomi hilang saat letusan itu. Danau Tolire Jaha terletak di barat laut Ternate, berjarak 4 km dari puncak Gunung Gamalama dan 500 meter dari pantai.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR