Mantan Ketua Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi, Kuntoro Mangkusubroto, mengulas perjalanan Aceh membangun diri dari puing-puing kehancuran akibat tsunami 10 tahun lalu. Berikut petikan wawancaranya
Bagaimana Anda menilai hasil kerja rekonstruksi pascatsunami Aceh?
Kalau saya boleh menilai diri saya sendiri, apa yang tercapai lebih dari yang direncanakan. Dilihat dari angka-angka jumlah rumah yang dibangun, jumlah sekolah, airport, airstrip, jembatan, dan jalan, saya kira saya cukup gembira dengan hasil yang tercapai setelah rekonstruksi selesai 2009.
Apa yang menurut Anda harus dilakukan tapi tak terealisir?
Meningkatkan kemampuan Pemda untuk mengelola Provinsi Aceh. Bagaimana melatih pemimpin dari GAM yang diperkirakan memimpin provinsi tersebut untuk memimpin dengan baik, menjalankan pemerintahan dengan baik. Kalau saya bisa ulangi, bagian ini perlu dilakukan dengan sebaik-baiknya
Jika infrastruktur sudah memadai kenapa direct investment kurang di Aceh?
Ada faktor lain, tingkat kriminalitas tinggi, birokrasi yang tidak ramah kepada investor yang akan masuk dan ketakutan yang diciptakan melalui pemberitaan penerapan syariah dalam bentuk pencambukan mereka yang dianggap bersalah. Ini merupakan hal menakutkan bagi masyarakat di luar Aceh, apalagi masyarakat Barat.
Penerapan hukum syariah dan diberlakukan juga terhadap mereka yang tidak beragama Islam pasti menimbulkan rasa takut. Dan bagi mereka yang tidak beragama Islam akan pikir dua-tiga kali sebelum masuk.
Bagaimana akuntabilitas dana bantuan?
Semua digunakan sesuai yang direncanakan. Umpamanya Palang Merah Kanada ingin bangun rumah, kita tinggal arahkan saja di mana harus dibangun. Soal efisiensi, saya rasa korupsi sistemik tidak terjadi. Kita pasang perlindungan untuk tindak korupsi. Kita sewa Price Waterhouse Cooper untuk investigative audit, kita sewa Ernst and Young untuk bangun sistem pengendalian keuangan. Saya bangga dari US$7,2 miliar, waktu saya meninggalkan Aceh hanya ada tiga kasus yang ke pengadilan dan itu jumlah kecil.
!break!Apakah dana bantuan itu sebaiknya dihabiskan untuk rehabilitasi dan rekonstruksi atau untuk pemeliharaan?
Saya kira tidak boleh seperti itu. Dua-pertiga dana US$7,2 miliar itu dari luar negeri dan mereka ingin uang dipakai untuk rehabilitasi dan rekonstruksi. Perawatan itu tanggung jawab pemerintah daerah atau nasional. Saya katakan terang-terangan tidak boleh uang rehabilitasi dan rekonstruksi digunakan untuk perawatan karena perawatan itu tugas dari yang akan kita alihkan barang barang tersebut, antara lain pemda atau pusat.
Tentang fasilitas yang dibangun pascatsunami tapi kemudian tidak ditempati atau terbengkalai?
Saya meninggalkan Aceh lima tahun yang lalu. Mungkin orangnya pindah dan ditinggal begitu aja atau terjadi hal yang tidak saya ketahui. Waktu saya meninggalkan Aceh, semua diperuntukkan mereka yang berhak. Pada 2009, semua baik. Antara 2009 hingga 2014 ya saya tidak tahu. (Baca juga Sejumlah Gedung Bantuan Terbengkalai dan Tidak Berfungsi)
Apa hal yang akan Anda lakukan dengan berbeda jika pimpin BRR lagi?
Akan hampir sama, hanya satu atau dua yang ketinggalan. Pertama, untuk rekonstruksi pascabencana seperti ini saya tak bisa pakai tata cara pengadaan pemerintah untuk masa normal. Masa pelelangan makan waktu dua bulan? Ga bisa kalau pascabencana. Kedua, cara audit macam BPKP, BPK ga bisa diterapkan. Bencana mengundang maling ya iya, tapi kalau kita melakukan rekonstruksi dan rehab dan diaudit dengan cara normal ya ga cocok.
Jadi sesudah 10 tahun apakah bisa dikatakan Indonesia sudah belajar dari tsunami?
Jadi begini, orang itu cenderung untuk mengabaikan sesuatu yang akan terjadi setelah saya mati. Jadi kalau saya ditanya, berapa kemungkinan tsunami Aceh datang lagi dalam 50 tahun ya saya bilang nol, tapi kalau 300 tahun ya saya bilang satu. Loh kalau 300 tahun lagi ngapain saya mikir? Jadi orang cenderung lupa. Ini yang membuat orang cenderung rileks setelah bencana besar terjadi padanya dan ini terjadi di mana-mana.
Oleh karena itu orang di Banda Aceh, Mentawai, cenderung rileks dan tidak berhati-hati dibanding orang di Gunung Merapi karena Gunung Merapi setiap lima tahun meletus. Jadi aspek edukasinya sudah terjadi di dalam dirinya. Jadi kalau kita bandingkan Merapi, Sinabung, orang sudah siap jika dibandingkan dengan tsunami seperti Aceh.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR