Seorang dosen di salah satu perguruan tinggi ternama di Manado, Devy Sondakh, menghebohkan dunia maya karena mengunggah foto hasil berburu satwa liar yang dilindungi di akun jejaring sosial Facebook miliknya.
Foto yang diunggah tertanggal 19 Desember 2014 itu memperlihatkan Devy tengah memegang dua ekor monyet hitam sulawesi (Macaca nigra) atau yaki, yang diduga sudah mati dan dua ekor kuskus sulawesi. Foto itu diunggah dengan keterangan, "Hasil berburu kemarin: Para kembaranku, Natalan bersama..."
Manajer Program Pusat Penyelamatan Satwa Tasikoki, Simon Garth, mengaku geram melihat tindakan tersebut ditengah upaya berbagai pihak menyelamatkan satwa liar endemik Sulawesi yang sudah semakin terancam punah. Terlebih lagi, populasinya dilindungi oleh undang-undang.
"Saya mendengar Direktur Reskrim Polda Sulut dan Kejaksaan Manado mengatakan dalam konferensi penegakan hukum pada bulan lalu Kamis (27/11) bahwa hal seperti ini bisa dijerat dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi dan Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya," kata Simon, Selasa (23/12).
Undang-undang tersebut, khususnya pada Pasal 21 ayat 2, menyatakan larangan bagi setiap orang untuk menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup.
Larangan itu disertai dengan ancaman pidana penjara 5 tahun dan denda Rp 100 juta sebagaimana diatur pada Pasal 40.
Mirisnya, Devy yang dalam foto itu ikut menyertakan tiga senapan angin menantang berbagai pihak untuk melaporkan tindakannya ke pihak terkait.
"Aku berharap ada yg melaporkan "kasus" (kalau bisa dibilang kasus) ini kepada otoritas atau mereka yg "involved" dengan hutan. Kemudian kita bikin seminar tentang hutan dan satwa, bukan hanya berdebat/berkoar-koar di media tentang hutan, padahal cuma berteori, tidak pernah sekalipun masuk bahkan tidur sendirian di hutan. Aku sendiri bersedia jadi speaker, biar kita buka boroknya negara kita soal hutan. Aku sendiri peneliti tentang "climate change", kolaborasi dengan NSC Univ," tulis Devy di komentar foto yang diunggahnya di akun Facebook miliknya.
Devy menulis komentar itu menanggapi banyaknya protes yang dilayangkan terhadap aksinya tersebut. Dari foto-foto yang ada di akun Facebooknya, Devy memang sering berburu.
"Kasihan ehhh, torank da sementara kampanye selamatkan Yaki (Kasihan, kami sedang mengampanyekan selamatkan yaki-monyet hitam sulawesi)," tulis Essa Senita menanggapi.
Namun, di bagian lain komentarnya, Devy menyatakan ingin mempertanggungjawabkan tindakannya itu karena posisinya sebagai seorang ilmuwan dan seorang pakar hukum.
"Aku ahli Hukum Perikemanusiaan Internasional (Hukum Humaniter Internasional-International Humanitarian Law), pernah dikontrak dan bekerja 4 tahun sebagai \'legal adviser\' International Committee of the Red Cross-ICRC) di Jakarta," tulisnya.
!break!
Dia memberikan contoh soal keberadaan monyet di hutan Molibagu yang sering menjadi musuh petani karena merusak. Alasannya, kalau monyet dipreservasi dan konservasi, semestinya satwa itu dilokalisasi agar tidak merusak lahan pertanian warga.
"Karena hukum bukan hanya soal Rechtmatigheid, tetapi juga Doelmatigheid. Sehingga, kalau ada Undang-undang perlindungan terhadap satwa monyet yang habitatnya jutaan, dan merusak pertanian warga, itu artinya undang-undang tersebut salah dan harus dicabut. Jadi, apakah protes karena langka atau tidak, enak atau tidak, itu soal rasio dan rasa," tulis Devy.
Sumber Kompas.com di Unsrat yang tidak ingin namanya disebutkan mengakui jika Devy merupakan seorang doktor di Unsrat sesuai dengan informasi yang ditulis di akunnya, yaitu bekerja di Jurusan Hukum Internasional Unsrat. Informasi lainnya menyebutkan bahwa Devy mengajar filsafat.
Hingga Selasa (23/12) pagi, foto yang diunggah Devy telah di-share oleh ratusan kali serta mendapat ribuan tanggapan yang menentang aksinya tersebut. Namun, banyak pula yang mendukung aksi Devy, bahkan menyatakan ingin ikut serta menyantap daging satwa liar tersebut.
Terancam punah
Sebelumnya, Field Station Manager Macaca Nigra Project, Stephan Lentey, menjelaskan bahwa monyet hitam sulawesi (Macaca nigra) atau yang disebut Yaki saat ini statusnya berada dalam "critically endangered" atau sangat terancam punah sesuai daftar IUCN.
"Dari penelitian pada 2010 yang dilakukan Juan-Fran Gallardo, saat ini hanya tersisa 5.000 ekor yaki di habtitat aslinya, 2.000 ekor di antaranya ada di Cagar Alam Tangkoko," ungkap Stephan.
Dalam kurun waktu 40 tahun terakhir, populasi yaki terus menurun dari kepadatan 300 ekor per meter persegi pada tahun 1980 hingga pada tahun 2010 tersisa kepadatan yaki hanya 44,9 ekor per meter persegi.
"Jika tidak ada penanganan yang serius dan menyeluruh, yaki akan menuju kepunahan. Pertumbuhan yaki sangat lambat. Betinanya hanya melahirkan satu bayi setiap hamil," tambah Stephan.
Yaki, lanjutnya, merupakan "agen" penyebar biji-bijian di lantai hutan Sulawesi. Artinya, bila membunuh, menangkap, atau mengonsumsi yaki, secara tidak langsung kita telah berperan dalam menggundulkan hutan Sulawesi.
Kepala Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Utara Sudiyono saat dimintai pendapat oleh Kompas.com mengenai masalah ini berjanji untuk mengusut tindakan tersebut.
"Ini sudah kasus yang berapa kali, beberapa waktu lalu juga ada yang melakukan hal seperti ini," ujar Sudiyono, Senin (21/12) kemarin.
Beberapa warga yang geram dengan tindakan Devy mendesak pihak-pihak terkait untuk melaporkan yang bersangkutan ke pihak berwajib.
"Ini pelecehan dan penghinaan terhadap hukum di bidang lingkungan hidup. Pemerintah, LSM, pemerhati lingkungan hidup, praktisi lingkungan, para pecinta alam gencar mengkampanyekan tentang pelestarian kera Sulawesi yang hampir punah, eeh, dosen ini justru membantai hewan yang dilindungi ini secara terang-terangan dan terbuka," tulis Jemmy ikut berkomentar.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR