Minggu (28/12) pukul 10.00 WIB. Running text salah satu stasiun televisi swasta menulis, "Pesawat AirAsia Rute Surabaya-Singapura Hilang Kontak dengan Menara ATC". Potongan pendek peristiwa ini mengawali sebuah "misi" pencarian ke tengah lautan.
Dalam hitungan menit dan jam, semua peristiwa berkelabat cepat. Kementerian Perhubungan mengonfirmasi kabar tersebut. Direktur Angkutan Udara Kemenhub Djoko Murjatmojo, langsung menggelar konferensi pers soal hal itu di Kantor Otoritas Bandara Soekarno-Hatta, Minggu siang.
Kami, para wartawan, juga langsung bak anai-anai yang disebar ke sejumlah lokasi, dari Surabaya sampai Belitung. Saya yang berbasis penugasan di Jakarta, mendapat tugas untuk ikut tim khusus dari Badan SAR Nasional untuk mencari pesawat AirAsia QZ8501 yang hilang dalam penerbangan dari Surabaya ke Singapura tersebut.
Perkiraan awal Basarnas berdasarkan data komunikasi terakhir dan prakiraan cuaca, pesawat berada diperkirakan berada di perairan Belitung. Koordinat awal yang menjadi tujuan pencarian adalah 03.22.46 Lintang Selatan (LS) dan 108.50.07 Bujur Timur (BT).
Lima kapal Basarnas bertolak ke kawasan tersebut. Saya ikut kapal KN224, yang angkat sauh dari Dermaga Kalijabat, Tanjung Priok, Jakarta Utara, pada Minggu selepas ashar. Hingga 12 jam ke depan, hanya ada air laut di depan mata kami.
!break!Di atas kapal
Bagi anggota tim Basarnas, perjalanan setengah hari penuh tersebut bukan persoalan besar. Namun, bagi kami para wartawan--terutama yang baru kali ini mengikuti peliputan semacam ini--beragam persoalan langsung menjadi tantangan. Tanpa tempat berbelok tujuan, tentu saja.
Dua belas jam terombang-ambing di laut, bagi kami adalah sebuah cerita baru. Terlebih lagi, kebanyakan dari kami yang ikut dalam misi ini berangkat tanpa persiapan. Bahkan beberapa wartawan pun tak sempat membawa sekadar baju ganti, apalagi makanan.
Ayunan kapal yang berusaha menunggangi gelombang tinggi di sepanjang perjalanan menuju perairan Belitung Timur, seketika menghadirkan pusing, mual, dan muntah. Menjaga kondisi badan tetap fit di tengah serangan mabuk laut pun jadi tantangan lain, ketika perbekalan termasuk bagian dari frasa "berangkat tanpa persiapan".
Selama perjalanan, kami mendapatkan makanan kaleng cepat saji. Ada tiga jenis makanan kaleng itu, yakni nasi goreng ayam, bubur kacang hijau, dan es buah. Kalau hanya disebut, sekilas tak ada masalah dengan makanan tersebut. Namun, coba saja menikmatinya di tengah goyangan ombak, untuk pertama kali sepanjang hidup.
Ketika malam tiba, tantangan lain datang. Ukuran kapal KN224 yang tak begitu besar, tak menyediakan banyak tempat yang cukup lapang bagi semua orang untuk bersandar atau merebahkan punggung dengan nyaman.
Ada lima kamar di kapal ini. Namun, jangankan ditempati wartawan, kelima kamar itu juga tak cukup bagi 20 anggota Basarnas di kapal tersebut untuk beristirahat bersamaan. Saya dan sebagian wartawan "memutuskan" tidur di lantai dek kapal.
Sebagian wartawan lain yang tak kebagian tempat cukup terlindung, memakai kantong hitam untuk jenazah untuk alas dan selimut tidur. Namun, semakin malam angin bertambah kencang dan dingin. Baik kami yang tidur di dek bermodalkan jaket dan pakaian tertebal yang kami bawa, maupun mereka yang memilih "menyalahgunakan" kantong mayat, tetap saja menggigil.
!break!Tiba di Belitung Timur
Kami tiba di perairan Belitung Timur, Senin (29/12/2014) pukul 04.15 WIB. Semua rasa bak "terdampar" di kapal misi pencarian pun langsung tertepis, berganti dengan semangat meliput dan harapan menemukan pesawat yang hilang itu berikut penumpang dan krunya.
Namun, tantangan belum usai. Berputar-putar selama 10 jam di perairan sesuai koordinat tujuan awal misi, tak mendapati apapun yang bisa mengungkap hilangnya pesawat AirAsia Q8501. Nahkoda KN224, Kapten Ahmad, memutuskan menghentikan pencarian ketika hari memasuki rembang petang.
Senin petang, kapal kami merapat di Dermaga Kota Manggar, Kabupaten Belitung Timur. Bagi kami, wartawan, jeda ini adalah peluang melaporkan diri ke kantor menggunakan jejaring telekomunikasi, menuliskan peliputan dan mengirimkannya ke kantor.
Laut yang kami seberangi 24 jam tanpa henti, tak menyediakan jaringan telekomunikasi memadai apalagi internet. Selama perjalanan, sembari bergantian menjalankan misi pencarian, waktu di atas kapal kami pakai untuk bertukar informasi dengan sesama wartawan maupun tim pencari dari Basarnas.
Titik terang pertama
Pada Selasa (30/12), pencarian berlanjut lagi. Kru dan wartawan yang sama, kembali menaiki KN224. Kapten Ahmad menyatakan pencarian bergeser ke lokasi yang menjadi titik komunikasi terakhir AirAsia QZ8501 dengan menara kontrol lalu lintas udara (ATC).
Di perairan di barat daya Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah ini, pencarian kami mendapatkan titik terang. Hingga Rabu (31/12) siang, dari lokasi pencarian baru ini sudah ditemukan sejumlah serpihan dan enam jenazah yang dipastikan terkait dengan insiden QZ8501.
Kami, tim dari Kompas.com--reporter Abba Gabrillin dan Ichsanudin, bersama fotografer Roderick Adrian Mozes--masih akan berjibaku dengan lautan, kali ini dari Pangkalan Bun hingga ke perairan yang berjarak seratusan mil dari pelabuhan Kumai, di Selat Karimata, untuk melaporkan setiap tahap proses pencarian dan penanganan QZ8501.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR