Teluk Aur, 19 Juni 2012
Decak kagum tak henti-hentinya kuucapkan saat pertama kali aku menginjakkan kaki di lanting Desa Teluk Aur, Kapuas Hulu. Desa yang dikelilingi sungai terpanjang di Indonesia, yang seakan menjadi paru-paru kehidupannya dan membelakangi hutan lindung tempat puluhan orang utan bergulat mempertahankan keberadaannya.
Papan demi papan disusun dengan ketinggian dua meter di atas tanah, menjadi pijakan dan penghubung dari satu rumah dengan rumah yang lain. Pohon-pohon kecil tumbuh di antara rumah-rumah, mencoba bertahan hidup di tengah teriknya matahari khatulistiwa.
Di tepi desa, terhampar pasir panjang berwarna putih dikelilingi air jernih yang memperlihatkan ikan-ikan yang tampak berenang bebas. Lumut hijau tumbuh subur di pohon-pohon yang telah lama tumbang oleh derasnya aliran Sungai Kapuas di kala pasang.
INILAH INDONESIA. Berjalan tiga meter dari lanting, beberapa ibu yang tengah mengaduk sebuah masakan di kuali besar menghentikan kegiatannya dan berteriak, "Ibu guru baru telah datang!" sambil berjalan ke arahku dan menjabat tanganku sambil menawarkan masakan yang diolahnya.
Setiap satu langkah kakiku bergerak kulihat senyuman orang-orang di sekelilingku. Senyuman ikhlas seorang sahabat yang menentramkan hati meskipun saat itu adalah kali pertama kami bertemu. Akhirnya dari kejauhan terlihat dua perempuan berdiri di depan toko sembako yang juga tersenyum dengan tangan terbuka menyambut kedatanganku.
Yah, itu ibuku dan adik pertamaku. Kami berbincang sejenak dan wajah mereka berbinar ketika kucoba mengucapkan sebuah kata dari Bahasa Hulu, bahasa persatuan Desa Teluk Aur, "Aok-mih!" yang artinya "iya" dalam Bahasa Indonesia. Yah, ibu memelukku dengan kasih sayangnya tanpa ragu-ragu seolah aku adalah anak perempuan kandungnya yang telah bertahun-tahun pergi dan kini telah kembali hanya karena aku mengucapkan satu kata itu. Disuapkannya kerupuk basah, makanan khas kapuas hulu, ke mulutku dengan tangan lembutnya tanpa peduli bahwa saat itu adalah kali pertama kami bertemu.
INILAH ORANG INDONESIA. Memang gelap gulita ketika malam menghampiri. Pelita hanya tiga jam dapat dinikmati karena keterbatasan listrik yang berkunjung ke desa ini.
Namun disini dapat kutemui orang-orang yang memiliki kebaikan hati, keramahan diri, dan kearifan pada ciptaan ilahi sehingga gelapnya malam tidak menggelapkan hati mereka. Yah, itulah orang Indonesia sejati.
!break!Lilin-Lilin Kecil di Putussibau
"Up and Down and jump jump jump/ move to the left and move to the right/ Up and Down and jump jump jump"
Terdengar riuh suara anak-anak sedang menyanyi lagu berbahasa Inggris dan berbicara satu sama lain dengan menggunakan Bahasa Inggris di sebuah tanah lapang kosong di depan sebuah sekolah pagi itu.
Terlihat pula tawa gembira sekelompok anak yang menari-nari memperagakan setiap lagu yang dinyanyikan. Sungguh menyenangkan. Siapa yang menyangka anak-anak yang fasih berbahasa Inggris itu adalah anak-anak kurang mampu yang belum pernah menginjakkan kakinya ke luar negeri.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR