Itulah suasana yang kami bersepuluh, Pengajar Muda IV Kapuas Hulu, lihat pagi itu di sebuah kelompok belajar Bahasa Inggris anak-anak yang didirikan oleh dua orang hebat. Kami memanggilnya Bang Alwis dan Bang Edi. Dua orang luar biasa yang menginspirasi kami.
Perawakan kedua orang itu sangat berbeda jauh. Bang Alwis bertubuh kecil dan kurus sedangkan Bang Edi sebaliknya. Asal daerahnyapun berbeda. Namun perbedaan tersebut justru membuat persahabatan mereka semakin erat dan bermanfaat bagi orang lain, terutama bagi anak-anak tidak mampu di Kota Putussibau.
Mereka bukan konglomerat yang bisa membuat sekolah berbahasa Inggris dan membayar guru-guru bahasa Inggris atau bule. Mereka hanya bekerja di sebuah kafe kecil di tengah Kota Putussibau.
Hasil jerih payah pekerjaan mereka sebagian digunakan untuk biaya operasional kelompok belajar ini. Hanya satu tujuannya, agar anak-anak di Kota Putussibau bisa memperoleh pengajaran Bahasa Inggris yang baik tanpa harus mengeluarkan biaya.
Pada awalnya kegiatan belajar mengajar hanya diperuntukkan bagi anak-anak yang kurang mampu. Namun semakin hari Bang Alwis dan Bang Edi tak kuasa menolak setiap anak yang ingin belajar.
Ada sekitar 50-an anak yang belajar dan lima sukarelawan yang mengajar di kelompok belajar Bang Alwis dan Bang Edi.
Untuk memperoleh sukarelawan bang Alwis menanyai satu per satu setiap pengunjung kafe yang berkunjung apakah bersedia ambil bagian dalam usaha mencerdaskan anak-anak bangsa di Kota Putussibau. Dengan usaha itu Bang Alwis dan Bang Edi dapat mengajak lima orang sukarelawan yang jelas-jelas bukan orang sembarangan. Bahkan tak jarang bule yang singgah di kafe mereka bersedia menyumbangkan tenaganya untuk mengajar anak-anak.
Kegiatan belajar mengajar dilaksanakan setiap Selasa, Kamis, Sabtu, dan Minggu di sore hari. Pada hari-hari itulah Bang alwis dan Bang Edi sering menolak pesanan catering karena lebih memilih bertatap muka dengan anak-anak, belajar sambil bermain, dan menyanyikan lagu-lagu berbahsa Inggris.
Sungguh mereka bukanlah ahli dalam pendidikan, bukan orang yang berpengalaman mengajar, namun tekad yang besar untuk memberikan mimpi dan masa depan yang lebih baik pada anak-anak membuat mereka mampu menjadi guru yang menyenangkan, memotivasi, dan menginspirasi bagi murid-murid mereka.
Sungguh mereka bukan politisi ataupun diplomat yang mampu memengaruhi orang-orang untuk mengikuti keinginannya melalui argumen-argumennya. Tapi mereka mempunyai hati untuk bicara sehingga mampu menggerakkan orang lain untuk turut serta mencerdaskan anak bangsa. Kondisi bangsa yang jauh tertinggal tidak perlu dikecam. Nyalakan lilin untuk menerangi kegelapan. Lakukan sesuatu.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR