Kita perlu berjalan kaki, seperti juga burung-burung terbang. Kita butuh berada di antara orang-orang lain. Kita butuh keindahan. Kita perlu berhubungan dengan alam. Hal yang terpenting, kita tidak perlu dibeda-bedakan. Kita semua ingin merasa satu sama lainnya adalah setara.
Salah satu kutipan terkenal di atas dikemukakan Enrique Penalosa, Wali Kota Bogota, Kolombia, periode 1998-2001. Namanya sering kali menjadi rujukan soal bagaimana mengelola dan menjadikan sebuah kota yang humanis dengan kedudukan warga kota yang diperlakukan setara. Beberapa kebijakannya dikenal sangat prorakyat dan memanusiakan warga kotanya.
Pelayanan angkutan umum massal di Bogota, yakni TransMillineo, misalnya, menjadi salah satu rujukan pemerintah kota negara lain untuk menerapkan hal yang sama.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membangun sistem transportasi Bus Rapid Transit (BRT) Transjakarta sejak 2004 berdasarkan sistem TransMillineo di Bogota itu. Bedanya, Transjakarta masih perlu dioptimalkan pelayanannya untuk menjadi sistem angkutan massal di Bogota yang utuh dan terpadu.
Penalosa juga membangun jalur-jalur sepeda (ciclorutas) yang mengantar warga kota dari depan rumahnya ke halte-halte bus. Dia mengubah sekitar 50 persen jalan utama Bogota untuk jalur sepeda dan jalur pedestrian. Total jalur sepeda atau ciclorutas di Bogota itu lebih dari 300 kilometer.
Hari bebas kendaraan bermotor yang dia laksanakan setiap hari Minggu, bukan main-main. Jalanan sepanjang 120 kilometer dia tutup untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat Bogota menikmati jalanan yang bebas polusi, untuk bersepeda, jogging atau sekadar kumpul komunitas.
Satu hal yang juga dilakukan adalah membersihkan jalur pedestrian dari parkir-parkir kendaraan. ”Salah satu simbol kesenjangan demokrasi (di sebuah kota/negeri) adalah ketika ada kendaraan yang diparkir di trotoar,” katanya.
Catatan sukses berkat sistem yang dibangun Penalosa adalah hanya 15 persen warga yang tetap menggunakan kendaraan pribadi. Selebihnya, warga lebih suka menggunakan bus atau sepeda.
Banyak hal lain lagi yang dia lakukan untuk menjadikan kota yang humanis.
Demikianlah, kota dibangun dan digerakkan untuk dinikmati semua kalangan masyarakat tanpa membeda-bedakan ”kelas” masyarakatnya. Kebijakan pemerintah kota tidak boleh terkesan diskriminatif sehingga muncul pertanyaan atau gugatan dari masyarakatnya.
Kenapa hanya kendaraan bermotor yang dibatasi penggunaannya di jalan protokol? Terbukti, jalanan di jalan protokol masih macet oleh kendaraan pribadi, bukan? Kenapa yang dibangun malah jalan raya, bukan infrastruktur untuk angkutan massal? Mengapa pejalan kaki dianaktirikan, fasilitas untuk pedestrian telantar dan dibiarkan diokupasi berbagai kepentingan?
Masih sederet lagi pertanyaan kritis terlontar dari masyarakat.
Apa yang dilakukan Penalosa itu mungkin bisa menjadi semacam pembelajaran bagaimana sebuah kota dibangun. DKI di bawah kepemimpinan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama mestinya juga bisa mewujudkan ”Jakarta, kota untuk semua”.
Tidak dimungkiri, apa yang dihadapi Basuki sedikit banyak merupakan warisan dari pemerintahan sebelumnya. Banyak yang harus dikoreksi agar Jakarta tidak lantas menjadi kota eksklusif, kota yang seakan hanya untuk kalangan berpunya.
Sebuah kota, apalagi ibu kota negara, seperti Jakarta, merupakan cermin dari masyarakat, pemerintah, ataupun birokrasinya.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR