Perkenalan kami dengan Kawah Ijen bermulai lebih dari 10 tahun lalu, ketika salah satu dari kami terpana menonton figure penambangan belerang di televise. Bila buruh pelabuhan Sunda Kelapa sanggup mengangkat kantong-kantong semen sembari meniti kayu penghubung dek kapal phinisi dengan tepian dermaga, mereka melakukan hal serupa. Membutuhkan konsentrasi dan tenaga. Bahkan pusat penambangan belerang lebih berat. Menapaki undak-undakan menuju bibir kawah, memanggul beban mendekati 100 kg dan membawanya naik dari kaldera.
Seorang dari kami menginap tiga hari bersama para penambang di pondok mereka yang sederhana. Bercengkrama dan menghitung bintang-bintang malam dari ketinggian mereka berada, melihat kelap-kelip Banyuwangi dikejauhan, sembari melancarkan percakapan berbahasa Indonesia tentunya.
Kenangan itu membawa kami kembali ke Kawah Ijen (2.368 m). memaknai cara penambangan menghidupi keluarga mereka. Berjalan mendului fajar, sembari memanggul keranjang. Menyapa dan membagikan senyum tulus kepada kami, lantar menuruni kaldera untuk menjemput potongan-potongan belerang.
Pipa besi mengalirkan uap fumarola kemerahan dar kawah. Ketika terkena udara dari luar dan mendingin, wujudnya membeku menjadi bongkahan kuning. Para penambang memotong-motong untuk dimuat dalam keranjang dan diserahkan ke pos pengumpulan.
Kabut belerang Kawah Ijen membuat para penambang terlihat bagai bayang-bayang. Sementara cerukan air berwarna turquoise dengan derajat keasaman tinggi terlihat menawan. Dinding kaldera membentengi, berlatarbelakang Gunung Ijen (2.799 m), Merapi (2.800 m), dan Raung (3.332 m).
Dalam perjalanan pulang, perkebunan kopi dan kayumanis menggantikan keindahan Kawah Ijen serta kabut belerang yang meruap. Saat memandangi lansekap pegunungan di bagian paling timur Pulau Jawa dari tempat bermalam, kami makin merasakan keindahan Ijen sekaligus mengagumi betapa perkasanya ‘manusia gunung’ para penambang itu.
Penulis | : | |
Editor | : | Puri |
KOMENTAR