Festival Lux Helsinki di Finlandia membawa kehangatan lewat eksplorasi cahaya.
Ada ”Water Light Graffiti”, ”One Minute Fame” karya Jasper Leonard Kühn dari Jerman, dan ”Enimmäkseen hyvä näkyvyys” karya Immanuel Pax dari Finland.
”Water Light Graffiti” karya Antonin Fourneau dari Prancis hanya bisa terwujud dengan adanya partisipasi penonton. Pengunjung harus menyapukan jemari atau menorehkan kuas basah ke permukaan panel yang tersusun atas ribuan lampu LED. Permukaan panel yang hitam dalam sekejap akan berubah menjadi titik-titik cahaya dengan hidupnya lampu-lampu kecil yang terkena air.
Para pengunjung, dari anak-anak hingga orang tua, dengan antusias antre untuk mencoba karya yang menggabungkan teknologi dan seni jalanan ini. Aneka bentuk dan gambar yang ditorehkan partisipan menjadi gambaran ekspresi dan koleksi karya yang terus berganti. Ketika panel kering, gambaran pun menghilang dan akan diganti dengan gambar baru yang dibuat.
Adapun dalam ”Enimmäkseen hyvä näkyvyys” yang dalam bahasa Inggrisnya berarti mostly a good visibility, para penonton menjadi bagian dari lukisan atau ”kanvas” bagi lukisan yang tampak. Penonton duduk di area tribun yang menghadap proyektor yang memproyeksikan slide bergambar lukisan tangan bergaya abstrak dengan sapuan cat warna-warni. Gambar pada slide jatuh di layar belakang penonton.
Secara dua dimensi, penonton lain yang tidak terlibat dan hanya menonton orang-orang yang memakai kacamata ini akan melihat wajah-wajah pemakai kacamata sebagai bagian dari gambar di layar belakang.
Pada saat yang sama, para penonton yang memakai kacamata akan melihat lukisan warna-warni yang samar. Sebagian besar penonton merasa bagaikan menyelam di kedalaman laut atau luar angkasa ketika mengenakan kacamata ini.
Tentu saja, perasaan lain bisa saja muncul mengingat pengalaman masing-masing yang sangat subjektif. Ia bisa punya perasaan, pikiran, atau kesan apa saja ketika mengenakan kacamata.
”Kacamata yang dikenakan mengontrol cahaya yang masuk ke retina mata kita. Gambar pada slide yang kita lihat lewat kacamata sama dengan lukisan yang ada di layar belakang pengguna kacamata,” kata Immanuel Pax.
Pada karya ”One Minute Fame”, seseorang harus memencet tombol dan sorotan lampu lantas mengarah kepada dirinya selama semenit, seperti seorang artis yang tengah disorot oleh lampu tunggal di atas panggung. Apa pun boleh dilakukan seseorang selama ia disorot. Bagi warga kota metropolis seperti Helsinki yang setiap hari dilanda kesibukan rutin, ”One Minute Fame” bagaikan membawa kesadaran tentang apa yang sedang dilakukan saat di bawah sorotan lampu.!break!
Memasuki tahun ketujuh, tempat penyelenggaraan Festival Lux Helsinki yang berlangsung 4-8 Januari ini disebar ke-17 titik dengan sebagian besar di antaranya berlokasi di sekitar Lapangan Senat.
Helsinki bagaikan panggung raksasa dengan warganya yang menonton sebagai pelakon-pelakon penting di atas panggung. Mereka harus meninggalkan rasa nyaman dan hangat di ruangan agar bisa menikmati kehangatan yang ditawarkan Festival Lux Helsinki. Para seniman yang terlibat, selain berasal dari Finlandia, juga antara lain dari Jerman, Prancis, Belgia, dan Jepang.
Festival cahaya semacam Lux Helsinki juga dikenal di beberapa negara Eropa lainnya serta beberapa negara di Asia yang memiliki musim dingin.
”Lux Helsinki bagaikan memboyong karya seni koleksi galeri dan museum ke lingkungan urban. Festival ini juga mendorong masyarakat mengunjungi tempat-tempat indah dan artistik yang selama ini jarang dikunjungi. Ini bukan sekadar hiburan, melainkan upaya untuk melihat musim dingin dari sudut pandang yang lebih positif ketimbang terus merasakannya sebagai bulan-bulan yang membawa kecemasan,” kata Direktur Artistik Festival Lux Helsinki Ilkka Paloniemi.
Rangkaian penampilan setiap harinya dibuka oleh pertunjukan sirkus Fire Circus Walkea yang berlangsung selama 25 menit. Bertempat di pelataran Katedral Helsinki, ribuan penonton menyaksikan sirkus api yang dipadukan dengan tari modern dari Lapangan Senat yang berada di hadapan katedral. Kelompok sirkus pimpinan Antti Suniala ini berisikan para penari profesional dari Berlin. Suniala adalah seniman asal Finlandia yang tinggal di Berlin.
Para penari memainkan payung api, menari di dalam lingkaran api, atau melemparkan tongkat-tongkat api ke udara. Tak ada panggung dengan latar belakang lebih kuat, selain wajah katedral yang gedungnya selesai dibangun tahun 1852 ini. Dengan menahan udara dingin yang suhunya saat itu mencapai -10 derajat celsius, penonton seolah mendapat rambatan energi panas dari nyala api yang dimainkan oleh para penari.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR