Seorang penjahit di sebuah desa di India menjadi orang pertama di komunitasnya yang memiliki kulkas, sesuatu yang telah ia idam-idamkan.
Santosh Chowdhury berjalan mondar-mandir dan berbicara melalui telepon genggam. Hari itu sangat penting baginya dan bagi Desa Rameshwarpur, di dekat Kalkuta, timur laut India.
"Berapa lama lagi? Lewat pangkalan becak motor, ya benar," teriaknya.
Santosh telah membeli sebuah kulkas baru. Kulkas itu tidak hanya kulkas pertama baginya, tapi juga bagi seluruh komunitas yang berjumlah 200 orang itu. "Memiliki kulkas sangat jarang terjadi di desa seperti desa kami," katanya.
Kurangnya jumlah lemari es di Rameshwarpur mencerminkan situasi di seluruh India. Hanya satu dari empat rumah yang memiliki lemari es. Bandingkan dengan 99 persen rumah tangga di negara maju.
"Kami adalah generasi pertama yang memiliki kulkas di keluarga kami," kata Santosh. "Tidak ada seorang pun dari zaman ayah dan kakek saya yang pernah melihat lemari es."
Santosh bekerja sebagai seorang penjahit. Ia tinggal di gubuk dua kamar yang juga berfungsi sebagai tempat kerja. "Saya tidak punya pekerjaan tetap," katanya. "Kadang saya bekerja paruh waktu di pabrik. Penghasilan saya tiga hingga empat dolar sehari."
Hidup mereka cukup keras, terutama bagi istrinya, Sushoma. Ia memasak makan siang, mengaduk kuali berisi nasi di atas kayu bakar di luar gubuk mereka. Ia harus memasak setiap hari karena mereka tidak bisa menyimpan sisa makanan.
Jadi Santosh harus pergi ke pasar pagi-pagi setiap hari untuk berbelanja. Ia selalu berharap bisa membuat pekerjaan rumah istrinya lebih mudah dan sejak 10 tahun yang lalu ia bermimpi memiliki lemari es.!break!
"Punya lemari es sangat memudahkan," kata Santosh. "Tidak perlu membeli sayur setiap hari dan kami bisa menyimpan makanan, terutama di musim panas." Karenanya ia rajin menabung sedikit demi sedikit setiap bulan untuk membeli lemari es yang harganya senilai dengan penghasilannya sebulan.
"Saya tidak punya pendapatan besar, makanya saya perlu waktu lama. Tapi sekarang uang saya cukup," katanya sembari tersenyum.
Sejak 10 tahun yang lalu ia bermimpi memiliki lemari es.
Di salah satu toko di sebuah jalan raya Kalkuta, sekitar 15 kilometer dari rumahnya, Santosh memilih-milih model kulkas. Melihat ke dalam lemari es, ia mengelus sebuah lemari es berwarna merah.
"Saya bingung. Ini pertama kalinya bagi saya. Saya tidak tahu harus membeli yang mana," kata Santosh malu-malu.
"Istri saya ingin yang berwarna merah. Saya ingin yang paling sedikit menyedot listrik. Kami harus menekan tagihan listrik."
Akhirnya, Santosh membeli lemari es seharga 11.000 rupee (Rp1,2 juta) dengan diskon khusus. Tetapi yang lebih penting, ia bisa membayar dengan cara mencicil dengan menyerahkan uang muka separuh dari harga total.
Akhirnya lemari es Santosh pun tiba dengan becak. Ia mengelilingi kulkasnya dengan senyum lebar. Banyak warga desa yang juga datang ke rumahnya untuk melihat dari dekat peranti itu.
"Hati-hati," teriaknya, saat dua orang warga membantu mengangkat kulkas ke dalam rumah.
Kini saatnya untuk upacara keagamaan. Istri Santosh mengoleskan bubuk berwarna merah dan jingga untuk mengusir roh jahat dan meniup cangkang kerang untuk meminta berkat dari para dewa dan menyambut kulkas itu ke rumah mereka.
Lemari es tersebut diletakkan di di samping mesin jahit dan televisi kecil mereka.
"Saya bisa fokus melakukan lebih banyak pekerjaan dan tidak perlu khawatir harus membeli makanan setiap hari," kata Santosh. "Istri saya bisa punya lebih banyak waktu senggang dan mungkin ia bisa membantu saya bekerja."
Inilah momen khusus bagi keluarga Chowdhury. Lemari es ini bisa mengubah hidup mereka.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR