Nationalgeographic.co.id-Makanan yang kita makan terdiri dari karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen, belerang, beberapa mineral lainnya. Namun bagaimana dengan plastik? Ya, benda ini memang terbentuk dari zat yang hampir sama dengan makanan, meskipun disusun dengan cara yang sangat berbeda.
Saat ini, dalam artikel yang baru-baru ini di unggah di Green Chemistry, para peneliti di University of Edinburgh telah menunjukkan bagaimana mereka menggunakan beberapa bakteri yang agak kooperatif untuk memecah satu plastik biasa, PET. Hasilnya adalah vanilin, yang bersama dengan beberapa senyawa lain mampu memberikan rasa khas pada vanila.
Makanan dari plastik sepertinya aneh. Tapi kemudian, banyak Mahluk hidup—termasuk kita—telah tanpa sengaja menelan plastik dan makanan yang di bungkus plastik lainnya untuk waktu yang cukup lama.
Plastik terbuat dari bahan bakar fosil, yang tidak terbarukan, dan mereka mencekik banyak mahluk hidup diplanet ini – belum lagi kura-kura, paus, ikan dan, ya, anak-anak.
Tergantung pada jenis plastiknya (seberapa stabilnya), kerusakan dapat berlangsung lambat laun.
Salah satu plastik dengan umur yang cukup panjang adalah PET, atau polyethylene terephthalate. Ini digunakan sebagai bahan kemasan, botol plastik, gelas sekali pakai, dan piring. Sekitar 50 juta ton PET dihasilkan setiap tahun, hanya sejumlah kecil di antaranya (29,1% pada 2018) didaur ulang. Para peneliti telah menemukan beberapa cara orisinal untuk menangani plastik, biasanya dengan memecahnya — menggunakan bakteri, jamur, atau hal lain.
Tapi Joanna Sadler dan timnya datang dengan inovasi baru: membuat plastik yang bisa dimakan. Mereka mempelajari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh tim peneliti Jepang yang mendapatkan bakteri lain, Ideonella sakaiensis, untuk memecah PET menjadi subunitnya, asam tereftalat dan etilen glikol.
Sadler, dan Stephen Wallace, dari School of Biological Sciences, University of Edinburgh, Inggris, menggunakan bakteri rekayasa genetika, Escherichia coli (MG1655 RARE), untuk mengubah PET menjadi vanilin. Selain makanan, vanillin, merupakan zat dengan permintaan tinggi, dan dapat digunakan dalam kosmetik, produk pembersih, herbisida, dan agen antibusa.
Baca Juga: Pengaruh Sampah Plastik Terhadap Perubahan Suhu Pantai dan Ekosistem
Selama daur ulang, PET biasanya diubah menjadi dua subunitnya yang kemudian digunakan kembali. Dalam beberapa kasus, bakteri mengubah asam tereftalat menjadi polihidroksialkanoat. Ini adalah plastik yang terurai lebih mudah daripada PET.
Tapi Sadler dan Wallace baru saja mengubah blok plastik ini menjadi vanillin.
“Keindahan menggunakan sel utuh adalah bahwa Anda menumbuhkan sel yang siap untuk bereaksi. Ini proyek yang sangat sederhana,” kata Sadler kepada Truly Curious.
E.coli tidak secara alami mengubah PET menjadi vanilin. Jadi itu harus dipersenjatai dengan enzim baru. Para peneliti datang dengan rencana yang melibatkan empat enzim yang secara sistematis akan mengubah PET menjadi vanillin. Bakteri memiliki cincin DNA ekstra, yang disebut plasmid. Gen yang menghasilkan enzim yang dibutuhkan dimasukkan ke dalam dua plasmid. Gen untuk dua enzim (mereka merupakan suap: tereftalat 1,2-dioksigenase, dan dihidroksi-3,5-sikloheksadiena-1,4-dikarboksilat dehidrogenase asam) berasal dari spesies bakteri lain, Comamonas. Plasmid kedua adalah satu gen untuk reduktase asam karboksilat, yang berasal dari bakteri lain, meskipun kadang-kadang berperilaku seperti jamur, Nocardia iowensis, dan yang lain (catechol O-methyltransferase) dari tikus.
E.coli mungkin memiliki gen yang tepat, tetapi membran selnya tertutup rapat untuk PET. Jadi para peneliti menambahkan butanol, suatu bentuk alkohol dengan empat atom karbon, daripada regulasi dua yang ditemukan di setiap bar lokal. Butanol melubangi membran E. coli, sehingga membuka jalan bagi PET untuk masuk dan diubah menjadi vanillin.
Anda pasti menebak masalah baru: bagaimana mengeluarkan produk vanilin. Jangan takut, selalu ada alkohol lain untuk pekerjaan itu—dalam hal ini, alkohol oleil.
Baca Juga: Pengaruh Sampah Plastik Terhadap Perubahan Suhu Pantai dan Ekosistem
Para peneliti melihat produksi vanilin naik jika E. coli diberi nutrisi yang lebih baik, termasuk produk pemecahan susu untuk asam amino, elemen jejak, dan benzil alkohol. Mereka menemukan bahwa produksi vanilin yang terjadi pada titik 22º Celcius (72º Fahrenheit) menjadi lima kali lipat dari yang mereka dapatkan pada 30º Celcius (86º Fahrenheit).
"Anda tidak bisa menerima begitu saja," kata Sadler. “Anda memang harus menguji semua jenis parameter yang berbeda untuk benar-benar memahami prosesnya” untuk mengubah botol plastik yang diambil dari jalanan menjadi vanillin.
Vanillin yang diproduksi dengan cara ini mirip dengan jenis alami. Tapi adakah yang membuatnya tidak aman untuk dikonsumsi?
“Jika produknya 100% murni, seharusnya tidak ada masalah,” kata Sadler. “Lebih baik menggunakan bahan baku [bahan mentah], yang saat ini menjadi pencemar lingkungan dan menyumbat lautan, daripada menggunakan bahan bakar fosil generasi pertama, yang kita habiskan.”
Baca Juga: Ketika Sedotan Metal Bukan Solusi Bijak Atasi Kerusakan Lingkungan
Wallace mengatakan kepada Truly Curious bahwa penelitian tersebut benar-benar mengubah persepsi sampah plastik sebagai produk akhir yang bermasalah, mengubahnya menjadi bahan baku yang dapat digunakan dalam bioteknologi industri.
Sadler dan Wallace sekarang bertujuan untuk meningkatkan proses dalam setahun, dan mencoba meningkatkan skala produksi di tahun berikutnya. Mereka juga mengincar plastik lain, seperti polivinil klorida (PVC), yang dapat diubah menjadi produk yang bermanfaat.
“Ada kemungkinan untuk meningkatkan bahan-bahan ini, tetapi saya pikir pertama-tama kita harus mengatasi masalah degradasinya,” kata Sadler.
Kami sebenarnya bisa menggunakan plastik sebagai substrat dan mengganti beberapa bahan bakar fosil ini,” kata Sadler. “Dan jika kita bisa menggunakan biologi untuk melakukan proses ini, kita bisa mengganti beberapa proses kimia yang lebih keras yang melepaskan banyak gas beracun.”
Source | : | Truly Curious |
Penulis | : | Agnes Angelros Nevio |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR