Sejak penggunaan ponsel pintar makin meluas, berinteraksi melalui aplikasi cakap-cakap atau ”messaging apps” cepat digemari karena sifatnya yang praktis dan hemat biaya. Fasilitas grup dalam aplikasi ini juga menjadi populer. Seberapa jauh kebutuhan kita untuk terlibat dalam berbagai macam grup tersebut?
Bagi sebagian orang, hidup di masa sekarang tanpa ponsel pintar adalah hal yang sudah sulit dibayangkan. Kemelekatan pada kebutuhan untuk berkomunikasi, berinteraksi, dan selalu terhubung begitu kuat.
Seberapa jauh kebutuhan kita untuk terlibat dalam berbagai macam grup tersebut?
Salah satu sarana kaum urban masa kini untuk berinteraksi adalah melalui aplikasi messaging. Aplikasi cakap-cakap pada ponsel pintar telah menjadi bagian integral dalam penggunaan ponsel saat ini. Aplikasi ini adalah suatu fasilitas yang memungkinkan pengguna ponsel pintar berinteraksi dalam waktu nyata (real time) —lintas medium sistem operasi ponsel pintar— gratis, cukup terhubung dengan internet. Berbeda dengan SMS (short message service) atau pesan singkat yang berbayar untuk setiap pesan yang dikirim.
Dari berbagai aplikasi cakap-cakap, sebagian yang populer di antaranya adalah WhatsApp, Viber, Line, WeChat, Snapchat, dan Blackberry Messenger (BBM). Melalui berbagai aplikasi ini, pengguna tidak hanya berinteraksi secara tekstual, tetapi bisa juga saling mengirim foto, video singkat, atau pesan audio. Sebagian aplikasi kini juga bisa digunakan di komputer dan terhubung dengan ponsel, seperti WhatsApp.
Kepopuleran aplikasi cakap-cakap bisa tecermin dari penggunanya yang terus tumbuh. Mengutip laporan The New York Times (25/1), secara global, pengguna aplikasi cakap-cakap pada 2014 tumbuh 103 persen. Aplikasi WhatsApp kini memiliki 700 juta pengguna, Viber 200 juta pengguna, dan Line 170 juta pengguna.!break!
Kini, fenomena memiliki grup virtual di berbagai aplikasi cakap-cakap juga mengakrabi kehidupan orang sehari-hari. Tia Rotandiko, ibu bekerja dengan dua anak ini, misalnya, memiliki lebih dari 10 grup dalam aplikasi WhatsApp di ponselnya.
Bagi Tia, aneka grup yang diikutinya itu bermanfaat untuk urusan pekerjaan, memelihara silaturahim, dan memantau kebutuhan kedua anaknya. Misalnya saja, Jumat (30/1) lalu, sepulang kantor Tia mampir ke supermarket untuk membeli sejumlah susu kotak untuk keperluan acara di sekolah anaknya, Arin (6).
Dalam grup itu kemudian para orangtua berembuk untuk saling gotong royong membawa keperluan acara di sekolah. Tia pun kebagian membawa susu kotak. Dengan begitu, dalam perjalanan pulang kantor dia tinggal mampir berbelanja di supermarket.
Manfaat serupa dirasakan Monique Hardjoko, ibu bekerja dengan dua anak. Pekerjaannya di dunia kreatif mengharuskannya untuk berjejaring dengan beraneka macam lingkup pergaulan. Lebih dari 10 grup virtual diikutinya, mulai dari beberapa grup penghobi olahraga, grup humas, komikus, hingga penghobi tari. Melalui beraneka grup itu sering kali Monique mendapat banyak gagasan yang terkait dengan pekerjaannya dalam industri komik dan kartun yang baru dibangunnya.
Lain lagi bagi perantau seperti Ilyuna Dewi Saptarini yang baru tinggal di Manchester, Inggris. Melalui beraneka grup virtual yang diikutinya, Ilyuna merasakan kenikmatan berkomunikasi secara fleksibel dan murah.
Salah satu grup, misalnya, terdiri atas teman-teman masa SMA yang kini tinggal di sejumlah negara dengan zona waktu yang berbeda-beda. Dengan teman-temannya itu, Ilyuna bisa bertanya banyak hal kepada teman-teman yang sudah lebih lama merantau, mulai soal aneka bumbu yang mirip bumbu Indonesia, aneka siasat di negeri orang, hingga yang lainnya.
”Menghibur banget lho kalau mulai bosan mengerjakan kerjaan rutin. Ngelipet baju sambil chatting enggak terasa… ha-ha-ha…,” ujar Ilyuna.!break!
Drama
Terlepas dari berbagai manfaat yang dirasakan para penggunanya, fasilitas grup di aplikasi cakap-cakap juga tak terelakkan berpotensi menciptakan ”drama” akibat distorsi makna alias kesalahpahaman dari pesan-pesan yang lalu lalang di grup.
Belum lagi orang terseret untuk terus-menerus melekat dengan derasnya pesan yang dimuntahkan di berbagai grup oleh para anggotanya.
Potensi ketidaknyamanan itu pula yang dicermati Lynda Ibrahim, seorang konsultan bisnis dan kolumnis, yang memutuskan tidak mengunduh aplikasi cakap-cakap sehingga bisa terhindar dari ajakan bergabung dalam beraneka macam grup virtual di lingkungan pergaulannya.
Sekalipun menggunakan ponsel pintar, Lynda memilih cara komunikasi yang paling nyaman, praktis, dan tak membuatnya terbelenggu dan terseret drama pergaulan yang tak perlu.
”Saya makin yakin keputusan saya tepat setelah melihat drama yang terjadi pada teman-teman yang ikutan grup. Misalnya, ada yang salah paham atau tersinggung lalu leave group (memutus hubungan dengan suatu grup virtual) bisa jadi bahasan enggak habis-habis. Seolah-olah dosanya leave group itu ternyata lebih besar daripada enggak ikutan grup, lho. Ha-ha-ha,” ujar Lynda.
Lynda merasa, begitu mudahnya cakap-cakap dan fasilitas grup tersebut justru cukup ”menakutkan” bagi dirinya. Terlebih lagi, orang cenderung berperilaku bertele-tele, terbelenggu dengan ponsel, dan serba ingin cepat direspons tanpa memikirkan kondisi si penerima pesan. ”Dengan SMS yang harus bayar, mau janjian menentukan restoran untuk makan siang malah lebih efisien. Dengan fasilitas chat gratis malah bisa bertele-tele,” ujar Lynda.
Tia pun menyadari efek samping dari interaksi melalui grup. ”Waktu masa kampanye pemilihan presiden lalu, misalnya, obrolan soal politik di grup memang bisa bikin saling enggak enak. Bahkan, sampai sekarang masih terbawa. Kalau sudah gitu nanti pada saling japri (jalur pribadi) di belakang,” kata Tia.
Maksud Tia dengan ”japri di belakang” ialah membahas sesuatu yang terjadi di grup melalui cakap-cakap jalur privat dengan satu orang tertentu saja, masih dengan fasilitas aplikasi yang sama.
Menurut Tia dan Lynda, interaksi secara tekstual, yang minim nuansa intonasi dan mimik emosi, memang memungkinkan terjadinya kesalahpahaman komunikasi. Sekalipun ada fasilitas emoji atau simbol-simbol yang merepresentasikan emosi manusia yang bisa disertakan dalam pesan tekstual.
”Ada orang, kan, yang kalau nulis lempeng aja, tanpa tanda baca atau emoji, bisa disalahpahami deh oleh orang-orang lain di grup,” kata Tia.
Sejauh ini sudah berapa banyak ”drama” yang terjadi di berbagai grup yang Anda ikuti?
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR