Terlepas dari berbagai manfaat yang dirasakan para penggunanya, fasilitas grup di aplikasi cakap-cakap juga tak terelakkan berpotensi menciptakan ”drama” akibat distorsi makna alias kesalahpahaman dari pesan-pesan yang lalu lalang di grup.
Belum lagi orang terseret untuk terus-menerus melekat dengan derasnya pesan yang dimuntahkan di berbagai grup oleh para anggotanya.
Potensi ketidaknyamanan itu pula yang dicermati Lynda Ibrahim, seorang konsultan bisnis dan kolumnis, yang memutuskan tidak mengunduh aplikasi cakap-cakap sehingga bisa terhindar dari ajakan bergabung dalam beraneka macam grup virtual di lingkungan pergaulannya.
Sekalipun menggunakan ponsel pintar, Lynda memilih cara komunikasi yang paling nyaman, praktis, dan tak membuatnya terbelenggu dan terseret drama pergaulan yang tak perlu.
”Saya makin yakin keputusan saya tepat setelah melihat drama yang terjadi pada teman-teman yang ikutan grup. Misalnya, ada yang salah paham atau tersinggung lalu leave group (memutus hubungan dengan suatu grup virtual) bisa jadi bahasan enggak habis-habis. Seolah-olah dosanya leave group itu ternyata lebih besar daripada enggak ikutan grup, lho. Ha-ha-ha,” ujar Lynda.
Lynda merasa, begitu mudahnya cakap-cakap dan fasilitas grup tersebut justru cukup ”menakutkan” bagi dirinya. Terlebih lagi, orang cenderung berperilaku bertele-tele, terbelenggu dengan ponsel, dan serba ingin cepat direspons tanpa memikirkan kondisi si penerima pesan. ”Dengan SMS yang harus bayar, mau janjian menentukan restoran untuk makan siang malah lebih efisien. Dengan fasilitas chat gratis malah bisa bertele-tele,” ujar Lynda.
Tia pun menyadari efek samping dari interaksi melalui grup. ”Waktu masa kampanye pemilihan presiden lalu, misalnya, obrolan soal politik di grup memang bisa bikin saling enggak enak. Bahkan, sampai sekarang masih terbawa. Kalau sudah gitu nanti pada saling japri (jalur pribadi) di belakang,” kata Tia.
Maksud Tia dengan ”japri di belakang” ialah membahas sesuatu yang terjadi di grup melalui cakap-cakap jalur privat dengan satu orang tertentu saja, masih dengan fasilitas aplikasi yang sama.
Menurut Tia dan Lynda, interaksi secara tekstual, yang minim nuansa intonasi dan mimik emosi, memang memungkinkan terjadinya kesalahpahaman komunikasi. Sekalipun ada fasilitas emoji atau simbol-simbol yang merepresentasikan emosi manusia yang bisa disertakan dalam pesan tekstual.
”Ada orang, kan, yang kalau nulis lempeng aja, tanpa tanda baca atau emoji, bisa disalahpahami deh oleh orang-orang lain di grup,” kata Tia.
Sejauh ini sudah berapa banyak ”drama” yang terjadi di berbagai grup yang Anda ikuti?
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR