Sama halnya dengan kontroversi tentang mamogram yang digunakan untuk mendeteksi kanker payudara, banyak juga perdebatan seputar metode yang digunakan untuk mendeteksi kanker prostat.
Pengkritik mengatakan kedua prosedur ini akan menemukan tumor kecil yang seharusnya diabaikan, namun seringkali gagal menemukan tumor yang ganas. Sebuah studi baru menunjukkan, dalam waktu dekat para dokter akan bisa mendeteksi kanker prostat.
Adanya penyakit turunan dalam keluarga akan menentukan apakah seorang laki-laki berpotensi terkena kanker prostat ganas. Studi menunjukkan, jika saudara laki-laki seorang pria mengidap kanker prostat, risiko yang dihadapinya terkena penyakit sama bisa tiga kali lebih besar dari biasanya.
Tidak seperti kanker payudara, yang bisa dideteksi dengan mamogram ringan, teknologi canggih ini tidak lazim digunakan untuk mendeteksi kanker prostat.
Para dokter menggunakan gelombang suara berfrekuensi tinggi atau ultrasonik untuk mengarahkan jarum dalam proses pengambilan lapisan sel prostat. Ultrasonik menggunakan gelombang suara – yang lebih aman dibandingkan radiasi, namun Dr. Peter Pinto dari Lembaga Kanker Nasional mengatakan cara ini masih belum memenuhi kebutuhan para dokter.
Sebaliknya, mesin pemindaian MRI menggunakan gelombang magnetik dan gelombang radio untuk mendapatkan gambaran rinci bagian dalam tubuh.
“MRI dapat menunjukkan di mana tumor tersembunyi dalam bagian prostat, yang biasanya tidak diambil sebagai sampel," ujarnya.
Dengan cara inilah, kanker yang diidap seorang pasien bernama Ronald Briscoe ditemukan. Ia ikut dalam studi luas yang dilakukan Lembaga Kanker Nasional, bagian dari Lembaga Kesehatan Nasional. Dr. Siddiqui yang memimpin studi, menyertakan 1.000 laki-laki yang berisiko tinggi terkena kanker prostat.
Satu kelompok, menjalani biopsi menggunakan ultrasonik dan teknologi MRI. Kelompok yang lain diperiksa dengan biopsi yang menggunakan arahan gelombang ultrasonik. Dr. Pinto adalah salah satu penulis laporan studi ini.
“Biopsi yang menggunakan MRI bisa mendeteksi kanker prostat berisiko tinggi 30 persen lebih banyak dibanding biopsi yang dilakukan secara biasa," ujarnya.
Dr. Siddiqui berencana melakukan lebih banyak percobaan klinis, namun mengatakan hasil studi awal ini cukup menggembirakan.
Penulis | : | |
Editor | : | Ajeng |
KOMENTAR