Kopi yang ditanam di Tanah Gayo adalah kopi arabika, sebuah varietas kopi yang belakangan sangat masif perkembangannya di Indonesia. Dahulu, kata penyair Fikar, masyarakat kita ditipu oleh penjajah Belanda yang mengatakan bahwa kopi arabika hanya untuk kalangan bangsawan, sementara kopi robusta unyuk rakyat. Maka sejak itulah rakyat kebanyakan hanya mengenal kopi robusta, sedang kopi arabika diekspor ke luar negeri untuk dinikmati para "bangsawan" Eropa.
Sekarang, setelah masyarakat mulai mengenal dengan baik kenikmatan kopi arabika, perkembangan kopi ini pun sangat pesat yang ditengarai oleh berkurangnya volume ekspor dan meningkatnya kebutuhan kopi dalam negeri dari waktu ke waktu.
Rasa kopi arabika yang ringan karena konon kafeinnya jauh lebih kecil dibanding robusta, menjadi penyebab mereka yang kerap bermasalah dengan asam lambung setelah minum kopi, memilih kopi arabika sebagai teman santai di pagi atau sore hari.
Mernurut Bupati Aceh Tengah, Nasaruddin, kopi asal dataran tinggi Tanah Gayo, laku keras di 17 negara; di antaranya Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Belanda, dan Inggris.
Hal itu dibenarkan oleh Yusianto, 50, peneliti dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Jembar saat ditemui di Simposium Kopi Internasional yang berkwngsung di Banda Aceh, 19-21 November 2014 lalu.
Yusianto mengemukakan, tak heran jika kopi gayo dimninati oleh masyarakat luar, karena cita rasa kopi gayo memang salah satu kopi terbaik di dunia. Pendapat Yusianto tentu tidak main-main, karena, selain sebagai peneliti, dia juga bekerja sebagai pencicip. Yus mengatakan, dirinya sudah mencicipi semua kopi yang ada di Indonesia, mulai dari Aceh sampai Wamena di Papua.
Kembali ke kopi gayo. Karakteristik kopi arabika gayo memiliki aroma humus, rasanya lebih ringan, dan ada aroma gula, yang membuat kopi gayo unggul. Keistimewaan lainnya, kopi gayo memiliki cita rasa yang bervariasi yang disebabkan oleh letak tanah, kontur tanah, musim, kadar air, serapan sinar matahari, dan juga perawatan.
Menurut Ikra, bisa saja, kopi yang tumbuh di ladang yang letaknya berdampingan, citarasanya berbeda. Maklumlah, karena perkebunan kopi di Gayo adalah perkebunan rakyat.
Berbeda dengan Brazil, mereka menanam secara massal, karena perkebunan di sana dikuasai oleh negara, maka tanaman kopi pun diperlakukan sama rata, tidak ada perlakuan khusus. Di Gayo lahan kopinya terluas sedunia yang dimiliki oleh rakyat.
Setidaknya, dalam satu tahun dihasilkan sekira 50 ribu ton. 90 persen di antaranya diekspor. Untuk dalam negeri, kopi gayo paling banyak dikirim ke Jakarta, Medan, Riau, Batam, Lombok, Bali, Kaltim. Untuk negara tujuan ekspor adalah, Singapura, Sanghai, Taiwan, Kuala Lumpur, Thailand.
Sementara untuk kopi luwak peminat terbesarnya adalah negara Jerman dan Belanda. Untuk konsumsi dalam negeri berupa bubuk kopi, sedangkan untuk konsumsi luar negeri masih dalam bentuk bean (biji).!break!
Gayo adalah negeri kopi. Sejauh mata memandang adalah tanaman kopi. Maka datanglah ke Tanah Gayo pada pertengahan tahun, saat tanaman kopi mulai berbunga, tanah perbukitan itu pun dipenuhi warna putih kembang kopi yang harum baunya.
Gayo adalah denyut Aceh, karena terletak di tengah-tengah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Gayo merupakan daerah sentral bagi daerah-daerah sekitarnya seperti Aceh Utara, Aceh Barat, Pidie, Aceh Timur dan Sumatera Utara. Terletak di tengah-tengah pegunungan daerah Aceh yang membujur dari utara ke bagian tenggara sepanjang bukit barisan bagian ujung pulau Sumatera.
Gayo adalah juga keindahan yang mewarnai bumi Aceh. Sebab dari Gayo inilah tari Saman dan seni bertutur yang disebut Didong berpusat, di samping tari Bines, tari Guel, tari Munalu, Sebuku /Pepongoten (seni meratap dalam bentuk prosa), guru didong, dan melengkan (seni berpidato berdasarkan adat).
Barangkali, lantaran itu semua, tiap pagi, siang, senja dan malam hari, saya masih setia mencecap kopi gayo. Tak cuma rasa nikmat yang saya rasakan, tetapi ada juga rupa-rupa keindahan yang saya bayangkan. Di antaranya, bunga kopi, tari saman, didong, dan... ah... srupuuutttt....
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR