Nationalgeographic.co.id—Para ulama Keraton dengan keikhlasannya, mengajari santri-santri Mamba'ul Ulum tentang Islam, Qur'an dan kehidupan. Tampak di antara santri-santrinya, Ghozali bin Hasan Ustadz ikut mengaji dengan khusyuk.
Ghozali bin Hasan Ustadz adalah salah satu santri dari sekolah islam rintisan Paku Buwono X. "Ia adalah salah satu dari para alumni Mamba'ul Ulum yang sukses dan menjadi orang hebat," ungkap Eko kepada National Geographic Indonesia dalam wawancaranya, pada 7 November 2021.
Eko Dalono merupakan salah satu pemerhati sejarah islam, khususnya dalam hal menulis tentang KH. Ghozali bin Hasan Ustadz di Surakarta. Salah satu tulisannya dituangkan dalam artikel berjudul Terlantarnya Makam KH Imam Ghazali, Pendiri Perguruan Al-Islam.
Halaman berikutnya...
"Ada yang jadi Rektor. Ada yang menjadi Pendiri dan pengasuh Pesantren. Ada yang menjadi ketua umum persyarikatan. Ada yang menjadi Menteri Agama," tambahnya. Berbeda dengan Ghozali, ia memilih untuk mengabdi dan membangun pendidikan islam agar terus berkembang di Surakarta.
Pengabdiannya kepada pendidikan, membuatnya berjuang dalam dunia pengajaran. "Selepas lulus dari Mamba'ul Ulum, ia memilih untuk mengajar di Pondok Pesantren Islam Jamsaren," tulis Rachmad Abdullah.
Rachmad Abdullah juga menuliskan tentang kisah KH. Ghozali dalam bukunya berjudul Perserekatan "Al-Islam": Kontributor Pendidikan Islam di Indonesia, diterbitkan oleh Yayasan Perguruan Al-Islam Surakarta pada 2016.
"Perantauan intelektualnya bahkan ia tempuh hingga ke Mekkah, berkat dorongan ayahnya (Hasan Ustadz) untuk memperdalam ilmu agamanya disana," tulis Abdullah. Masa belajarnya sejak di Mamba'ul hingga ke Mekkah, ia tempuh sekitar tahun 1905-1927.
Ia hidup di masa Indonesia tengah dalam belenggu penjajahan Belanda. Hindia-Belanda lebih dikenal ketimbang Indonesia, kala itu. Sebagai pengajar, ia dibekali dengan pemahaman-pemahaman seputar pendidikan, hal ini kelak mendorongnya menciptakan inisiasi untuk mendirikan Perguruan Al-Islam.
Baca Juga: Santri-santri Bengal Zaman Kolonial
"Bermula dari pengajian di tahun 1927, Kyai Ghozali yang saat itu sebagai pengajar hadits di Pesantren Jamsaren, mulai dicintai para pendengarnya," ujar Naim kepada National Geographic dalam wawancaranya pada 9 November 2021.
Sidrotun Naim merupakan ilmuwan cum sejarawan islam yang cukup populer. Ia mengisahkan tentang seluk beluk kehidupan K.H. Imam Ghozali dalam perspektifnya sebagai pemerhati sejarah.
"Pengajian yang awalnya hanya berisi segelintir jama'ah, berkembang terus dan meluas hingga ia dicintai dan diminta untuk membangun yayasannya sendiri," tambahnya. Kebanyakan menyukai gagasan dan pemikiran Ghozali dalam setiap pengajiannya.
Ia kemudian mendirikan perguruan Al-Islam yang merupakan sekolah islam modern non-pemerintah pertama di Surakarta pada 1928. "Bukan sekolah negeri yang dikontrol sepenuhnya oleh Belanda, bukan juga Mamba'ul sekolah yang sepenuhnya dikontrol Keraton, Al-Islam berdiri secara independen," ungkap Naim.
"Para siswa di Al-Islam menyebutnya sebagai kyai (kiai), sejak saat itu Kiai Ghozali adalah panggilan akrabnya," tambahnya. Pendirian Perguruan Al-Islam di tahun 1928, menambah deretan perjuangan bangsa Indonesia, khususnya di masa pergerakan nasional.
Halaman selanjutnya...
Selain pemikiran-pemikirannya yang mendorong perjuangan dalam perspektif Islam, ia juga berperan dalam keterlibatan para pelajarnya dalam perang kemerdekaan. "Adanya peran para siswa Al-Islam dalam tentara Hizbullah," lanjutnya.
Perjuangannya dalam mengajar tidak berhenti pada proses mengajarnya sebagai sosok kyai yang arif ilmu agama. Ia mengembangkan bahan-bahan ajar melalui tulisan-tulisan penting yang ia tuangkan dari perantauan intelektualnya hingga ke Mekkah.
"tak hanya sebagai pengajar, ia menjadi ulama dengan perkataan dan tulisannya yang memberikan pencerahan pada perkembangan Islam ditengah kemelut politik agama di era Hindia-Belanda," imbuhnya.
Ia telah menulis berbagai kitab, "seperti Al-Imamah, At-Tijan, Al-Adabu wa al-Akhlaq an- Nabawiyyah, Al-Islam wa al-Muslimin, Al-Qur’an wa Sunnah Sayyid al-Anam, dan masih banyak lagi karya lainnya," ungkap Agustien.
Indah Agustien menulis dalam skripsinya berjudul Peran dan Pemikiran K.H Imam Gozali dalam Menerapkan Pendidikan Islam Kritis di Surakarta, yang dipublikasikan pada tahun 2020.
Baca Juga: Madrasah Al-Mustansiriya, Mengajarkan Islam dan Sains Sejak 1227
Berbeda dengan Mamba'ul Ulum, sekolah bernuansa Keraton yang tidak lagi dijumpai hari ini karena mengalami kebangkrutan, sekolah dan pemikiran Kiai Ghozali masih lestari hingga kini. Salah satu kitabnya, Al-Imamah, menjadi identitas dan pengajian rutin di yayasan Perguruan Al-Islam yang diselenggarakan setiap hari kamis (di SMA Al-Islam 1 Surakarta).
"KH. Imam Ghozali berupaya menuangkan gagasannya tentang kepemimpinan di dalam Kitab Imamah sebagai pondasi keberlangsungan kehidupan bangsa dan Negara dalam perspektif Islam. Kitab Imamah berbicara banyak tentang kepemimpinan dan kebangsaan," pungkasnya.
Tidak mengherankan bahwa beberapa bagian dari kitab Imamah mengandung ajakan perjuangan sesuai dengan kaidah Islam, karena kitab tersebut ditulis berdasar pada pengalaman perjuangannya sejak zaman Belanda.
Tahun 1936 Al-Islam menerbitkan majalah Albalaagh, yang peredarannya menjangkau seluruh Pulau Jawa bahkan hingga Lombok. "Pemikiran Islam kiai Ghozali membentang hampir ke pelosok Jawa, Bali hingga Kepulauan Nusa, mengajak pada perjuangan islam yang kaffah," tegas Sidrotun Naim.
Jasa lainnya, kiai Ghozali terlibat dalam pendirian universitas islam non-pemerintah pertama di Indonesia. "Melalui kongres, beberapa petinggi menginisiasi pendirian STI Yogyakarta yang sekarang menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta," tutupnya.
Baca Juga: Gerakan Perlawanan Haji Misbach: Islam Merah dan Komunis Hijau
Source | : | Repository IAIN Salatiga,Proceedings SHE's 2021 |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR