"Ada yang jadi Rektor. Ada yang menjadi Pendiri dan pengasuh Pesantren. Ada yang menjadi ketua umum persyarikatan. Ada yang menjadi Menteri Agama," tambahnya. Berbeda dengan Ghozali, ia memilih untuk mengabdi dan membangun pendidikan islam agar terus berkembang di Surakarta.
Pengabdiannya kepada pendidikan, membuatnya berjuang dalam dunia pengajaran. "Selepas lulus dari Mamba'ul Ulum, ia memilih untuk mengajar di Pondok Pesantren Islam Jamsaren," tulis Rachmad Abdullah.
Rachmad Abdullah juga menuliskan tentang kisah KH. Ghozali dalam bukunya berjudul Perserekatan "Al-Islam": Kontributor Pendidikan Islam di Indonesia, diterbitkan oleh Yayasan Perguruan Al-Islam Surakarta pada 2016.
"Perantauan intelektualnya bahkan ia tempuh hingga ke Mekkah, berkat dorongan ayahnya (Hasan Ustadz) untuk memperdalam ilmu agamanya disana," tulis Abdullah. Masa belajarnya sejak di Mamba'ul hingga ke Mekkah, ia tempuh sekitar tahun 1905-1927.
Ia hidup di masa Indonesia tengah dalam belenggu penjajahan Belanda. Hindia-Belanda lebih dikenal ketimbang Indonesia, kala itu. Sebagai pengajar, ia dibekali dengan pemahaman-pemahaman seputar pendidikan, hal ini kelak mendorongnya menciptakan inisiasi untuk mendirikan Perguruan Al-Islam.
Baca Juga: Santri-santri Bengal Zaman Kolonial
"Bermula dari pengajian di tahun 1927, Kyai Ghozali yang saat itu sebagai pengajar hadits di Pesantren Jamsaren, mulai dicintai para pendengarnya," ujar Naim kepada National Geographic dalam wawancaranya pada 9 November 2021.
Sidrotun Naim merupakan ilmuwan cum sejarawan islam yang cukup populer. Ia mengisahkan tentang seluk beluk kehidupan K.H. Imam Ghozali dalam perspektifnya sebagai pemerhati sejarah.
"Pengajian yang awalnya hanya berisi segelintir jama'ah, berkembang terus dan meluas hingga ia dicintai dan diminta untuk membangun yayasannya sendiri," tambahnya. Kebanyakan menyukai gagasan dan pemikiran Ghozali dalam setiap pengajiannya.
Ia kemudian mendirikan perguruan Al-Islam yang merupakan sekolah islam modern non-pemerintah pertama di Surakarta pada 1928. "Bukan sekolah negeri yang dikontrol sepenuhnya oleh Belanda, bukan juga Mamba'ul sekolah yang sepenuhnya dikontrol Keraton, Al-Islam berdiri secara independen," ungkap Naim.
"Para siswa di Al-Islam menyebutnya sebagai kyai (kiai), sejak saat itu Kiai Ghozali adalah panggilan akrabnya," tambahnya. Pendirian Perguruan Al-Islam di tahun 1928, menambah deretan perjuangan bangsa Indonesia, khususnya di masa pergerakan nasional.
Halaman selanjutnya...
Source | : | Repository IAIN Salatiga,Proceedings SHE's 2021 |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR