Salah satu adegan dalam film Darah dan Doa, menampilkan Kapten Sudarto menaruh hati pada seorang gadis Jerman. Adegan kedekatan dua ras manusia ini tampaknya menampilkan sosok nasionalisme bangsa Indonesia yang tidak mudah terjebak dalam jargon cauvinisme. Sebuah percakapan tentang teladan kebangsaan dalam film.
Pemutaran perdananya menanti waktu yang tepat lantaran semua orang berpolemik—meributkan sesuatu yang belum mereka tonton. Pada akhirnya, Bung Karno mengambil keputusan untuk mengizinkan peredaran film ini. “Dalam sejarah di Republik kita,” Rizal berkata, “mungkin satu-satunya film yang diputar di istana adalah film Darah dan Doa, setelah itu tidak ada lagi.”
“Film ini, menurut saya, inspirasinya tetap dari cerita yang semula digagas oleh Sitor,” tutur Rizal. Namun, imbuhnya, “di film ini bukan Sitor yang menulis skenario, tetapi Usmar.” Lebih dari dua windu silam, Rizal telah menuntaskan studinya di Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra Universitas Indonesia, dengan kajian Sitor Situmorang: Biografi Politik 1956-1967.
Dalam ulasan dalam sejarah film Indonesia, ungkap Rizal, “Sitor dikatakan hanya menulis tidak ada seperempat halaman kuarto”, tetapi ada juga yang menyebutkan dalam pemerian lama bahwa “ini sebenarnya cerpen Sitor yang tidak pernah dipublikasi karena sudah difilmkan oleh Usmar Ismail.”
Rizal yakin bahwa gagasan kisah Darah dan Doa berasal dari pengalaman Sitor selama masa revolusi. Dia menyebutkan adanya kesamaan cerita dengan apa yang dialami Sitor, seperti hadirnya perempuan Jerman dalam film tersebut, yang tampaknya terinspirasi kedekatan Sitor dengan seorang perempuan Jerman yang juga menggemari sastra. Sitor pernah bertemu dengan seseorang dengan nasib seperti Kapten Sudarto ketika dia menjalani hukuman di Wirogunan, Yogyakarta.
“Sangit saja baunya tapi tidak ada satu tawaran yang bisa membuat kita berpikir nation itu seperti apa sih,” ujar JJ Rizal.
Dalam diskusi diungkapkan juga bahwa gagasan kisah yang bisa dipetik dari sinema ini bukanlah perang istimewa, melainkan aspek inisiatif bergotong-royong dalam kewajiban merawat kebudayaan justru ketika usia Republik Indonesia masih sangat muda. Usmar, Sitor, dan para pendukung film ini tampaknya telah berpikir bahwa merawat kebudayaan merupakan urusan yang sangat penting karena kebudayaan merupakan ruang-dalam dari suatu bangsa.
“Mereka adalah orang-orang yang menyediakan punggungnya untuk memikul apa yang seharusnya dikerjakan oleh negara—yakni mengurus kebudayaan—tetapi tidak dikerjakan oleh negara,” Rizal berkata. Sebuah ironi yang menurutnya masih terjadi hingga hari ini.
Diskusi tentang nasionalisme atau karakter bangsa dalam sebuah film, Rizal mengatakan, jauh lebih menarik pada zaman awal berdirinya Republik ini ketimbang zaman sekarang. Menurutnya, selama ini deretan film yang mengangkat nama-nama besar pahlawan, tampaknya lebih banyak memberikan indoktrinasi ketimbang proses pengembangan daya kritis kita untuk menjawab pertanyaan apa makna sebuah bangsa.
“Kita bisa memakai istilahnya Bung Karno bahwa nasionalisme kita hari ini adalah nasionalisme kemenyan,” ujarnya. “Sangit saja baunya tapi tidak ada satu tawaran yang bisa membuat kita berpikir nation itu seperti apa sih.”
Setidaknya terdapat dua film lainnya yang terinspirasi oleh karya sastra Sitor Situmorang. Film Naga Bonar (1987) yang diadaptasi dari cerpen Pertempuran, dan film Bulan di Atas Kuburan (1973) yang diadaptasi dari salah satu sajak Sitor yang terkenal pada 1950-an. Pada 1956-57 Sitor melanjutkan studinya dalam bidang sinematografi di University of California. Sempat mendekam dalam penjara tanpa pengadilan pada 1967-76. Sang legenda itu wafat di Apeldoorn, Belanda, pada 20 Desember 2015, dalam usia 91 tahun.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR