Selain perburuan yang terus dilakukan pada satwa liar, Sunarto menuturkan, perilaku masyarakat Indonesia sejak lama terbiasa untuk memelihara satwa langka di tempat tinggalnya masing-masing. Namun, adopsi aksi tersebut ternyata tidak diikuti dengan keseriusan dalam merawatnya dan bahkan cenderung mengabaikannya.
“Biasanya, saat satwa baru diterima dan masih segar bugar, si pemelihara akan senang. Tapi, karena perawatan yang tidak benar, satwa kemudian jadi cepat sakit dan kemudian diserahkan ke lembaga konservasi satwa,” cetusnya.
Karena itu, Sunarto memberi saran, jika memang masyarakat merasa tidak siap untuk memelihara satwa, sebaiknya jangan memaksakan diri. Pasalnya, jika satwa sudah sakit karena salah pemeliharaan, yang akan terkena imbasnya adalah lembaga konservasi satwa.
Rekayasa Kultur Harus Dilakukan
Untuk mencegah terus meluasnya aksi perdagangan ilegal melalui jaringan daring, Sunarto mengusulkan agar dilakukan rekayasa kultur oleh Pemerintah Indonesia dan seluruh stakeholder yang berkaitan dengan satwa di Indonesia.
“Sudah saatnya dilakukan rekayasa kultur di sejumlah tempat yang menjadi populasi satwa tersebut. Dengan rekayasa kultur, masyarakat diharapkan bisa semakin paham bagaimana untuk menyikapi keberadaan satwa liar langka,” tandasnya.
Sementara itu, menurut Samedi, Program Director Tropical Forest Conservation Action for Sumatera (TFCA-Sumatera) KEHATI, selain harus ada perubahan paradigma dan kultur di masyarakat, harus juga ada perubahan di tingkat regulasi terkait keberadaan satwa liar di Indonesia.
“Harus ada sanksi hukum untuk pelanggarannya. Kemudian harus ada juga perlindungan menyeluruh di semua level. Terutama, harus ada perlindungan di habitat, selain perlindungan hewan secara langsung,” tegasnya.
Menurut Samedi, pada dekade 90-an, Indonesia biasa mengekspor burung ke berbagai negara di Eropa dan Amerika Serikat. Namun, seiring berjalannya waktu, saat ini ekspor tidak bisa dilakukan lagi karena pemberlakuan aturan yang sangat ketat dari negara-negara tersebut.
“Ini juga ada kaitannya dengan perilaku satwa. Bisa jadi karena memang dipengaruhi oleh perilaku posesif dari masyarakat yang melakukan perburuan liar. Karenanya, harus ada tindakan tegas dari semua kalangan menyikapi hal ini. terutama harus ada perubahan paradigma dan kultur,” pungkas dia.
Penulis | : | |
Editor | : | Ajeng |
KOMENTAR