Perdagangan satwa liar yang berstatus langka kini semakin mengkhawatirkan, dalam beberapa tahun terakhir. Diduga, satwa-satwa yang berstatus endemik dari berbagai pulau di Indonesia kini sudah semakin mudah menyebar ke berbagai negara di seluruh dunia.
Penyebaran satwa liar tersebut terjadi melalui jaringan sosial media yang semakin masif perkembangannya dalam 10 tahun terakhir ini. Fakta tersebut kini sudah semakin mengkhawatirkan, karena kekuatan sosial media dewasa ini sudah diakui sangat besar oleh semua kalangan d dunia.
Irma Hermawati dari Wildlife Crime Unit/Wildlife Conservatory Society (WCU/WCS) menilai bahwa peredaran satwa liar berstatus langka saat ini sudah semakin tak terbendung. Karenanya, harus dicari cara bagaimana untuk menghentikan perdagangan satwa liar melalui sosial media.
“Sekarang ini satwa liar memang sudah semakin gawat. Sudah banyak yang menawarkan perdagangan satwa liar melalui sosial media. Ini harus dihentikan segera,” tutur Irma di Jakarta, Kamis (5/6).
Menurut Irma, motif perdagangan melalui jaringan dalam jaringan (daring) tersebut rata-rata berujung pada keuntungan materi. Hampir semua transaksi perdagangan melalui daring dilakukan oleh para pedagang lama yang biasa berjualan satwa. Di antara mereka, terdapat para pedagang hewan di Pasar Pramuka, Jakarta Timur.
WCS mencatat, sepanjang 2014 terjadi transaksi perdagangan melalui daring sebanyak 26 kali. Hampir sebagian besar dari transaksi tersebut dilakukan melalui pembayaran di muka (cash on delivery/COD).
“Namun, selain para pedagang lama, dalam modus perdagangan melalui daring ini, kini mulai terdapat para pedagang baru. Mereka ini adalah para pedagang muda yang mengerti dunia daring, terutama sosial media,” jelas Irma.
Tidak hanya itu, meski dilakukan melalui jaringan daring, namun Irma memastikan bahwa modus baru tersebut sudah memiliki jaringan tetap dan kuat. Dia mencontohkan, untuk burung elang, calon pembelinya hampir dipastikan adalah konsumen dari Jepang. Sementara, untuk burung kakatua, konsumennya berasal dari negara Timur Tengah.
“Harus ada tindakan tegas dari aparat hukum untuk menghentikan aksi perdagangan ilegal melalui daring ini. Karena, bagaimanapun ini sudah mengancam populasi satwa langka tersebut. Saya yakin aparat bissa melacak siapa saja pelaku perdagangan ilegal melalui daring tersebut karena sudah jelas,” papar dia.
Satwa Indonesia, Satwa‘Penakut’ di Dunia
Terus berlangsungnya perburuan liar satwa langka di Indonesia dan kemudian dijual melalui jaringan online maupun offline, menurut Ahli Spesies dari World Wildlife Foundation (WWF), Sunarto, berdampak pada perilaku satwa yang ada di alam liar.
“Satwa Indonesia di alam liar termasuk penakut jika dibandingkan dengan satwa serupa di negara lain. Ini tak lepas dari perilaku posesif masyarakat Indonesia yang agresif melakukan perburuan liar. Ini memang sangat menyedihkan,” ungkap Sunarto.
Jika kondisi ini terus dibiarkan, dia meyakini melalui penelitian yang dilakukan, satwa liar berstatus langka di Indonesia akan terkena dampak ekologis yang berat. Dan itu, sudah jelas akan semakin mengancam populasi mereka yang sudah sedikit saat ini.
Selain perburuan yang terus dilakukan pada satwa liar, Sunarto menuturkan, perilaku masyarakat Indonesia sejak lama terbiasa untuk memelihara satwa langka di tempat tinggalnya masing-masing. Namun, adopsi aksi tersebut ternyata tidak diikuti dengan keseriusan dalam merawatnya dan bahkan cenderung mengabaikannya.
“Biasanya, saat satwa baru diterima dan masih segar bugar, si pemelihara akan senang. Tapi, karena perawatan yang tidak benar, satwa kemudian jadi cepat sakit dan kemudian diserahkan ke lembaga konservasi satwa,” cetusnya.
Karena itu, Sunarto memberi saran, jika memang masyarakat merasa tidak siap untuk memelihara satwa, sebaiknya jangan memaksakan diri. Pasalnya, jika satwa sudah sakit karena salah pemeliharaan, yang akan terkena imbasnya adalah lembaga konservasi satwa.
Rekayasa Kultur Harus Dilakukan
Untuk mencegah terus meluasnya aksi perdagangan ilegal melalui jaringan daring, Sunarto mengusulkan agar dilakukan rekayasa kultur oleh Pemerintah Indonesia dan seluruh stakeholder yang berkaitan dengan satwa di Indonesia.
“Sudah saatnya dilakukan rekayasa kultur di sejumlah tempat yang menjadi populasi satwa tersebut. Dengan rekayasa kultur, masyarakat diharapkan bisa semakin paham bagaimana untuk menyikapi keberadaan satwa liar langka,” tandasnya.
Sementara itu, menurut Samedi, Program Director Tropical Forest Conservation Action for Sumatera (TFCA-Sumatera) KEHATI, selain harus ada perubahan paradigma dan kultur di masyarakat, harus juga ada perubahan di tingkat regulasi terkait keberadaan satwa liar di Indonesia.
“Harus ada sanksi hukum untuk pelanggarannya. Kemudian harus ada juga perlindungan menyeluruh di semua level. Terutama, harus ada perlindungan di habitat, selain perlindungan hewan secara langsung,” tegasnya.
Menurut Samedi, pada dekade 90-an, Indonesia biasa mengekspor burung ke berbagai negara di Eropa dan Amerika Serikat. Namun, seiring berjalannya waktu, saat ini ekspor tidak bisa dilakukan lagi karena pemberlakuan aturan yang sangat ketat dari negara-negara tersebut.
“Ini juga ada kaitannya dengan perilaku satwa. Bisa jadi karena memang dipengaruhi oleh perilaku posesif dari masyarakat yang melakukan perburuan liar. Karenanya, harus ada tindakan tegas dari semua kalangan menyikapi hal ini. terutama harus ada perubahan paradigma dan kultur,” pungkas dia.
Penulis | : | |
Editor | : | Ajeng |
KOMENTAR