“Di sini juga tidak.”
Ini mengingatkan saya pada tulisan dari sastrawan Nikos Kazantzakis: Zorba si Yunani menjelaskan bahwa kita bisa menilai orang dari apa yang dihasilkan dari makanan yang ditelannya: ada yang menghasilkan seni, ada yang menjadi kerja fisik, dan ada yang hanya menjadi kotoran. Hasil makanan bankir sudah jelas.
“Mari kita ke pohon zaitun tertua di Siprus,” kata Savvas.
Pohon itu bertunas 700 tahun lalu. Batangnya yang berbonggol-bonggol itu lebar, pendek, dan kopong. Savvas menjelaskan dengan bangga dan sangat tepat bahwa pohon itu pernah dimuati “32 orang Prancis kurus. Itu dilakukan untuk mencetak rekor.”
Seperti banyak lelaki Siprus Yunani, Savvas berkendara di pulau terbesar ketiga (tetapi masih sangat kecil) di Laut Mediterania itu dengan hanya bercelana pendek. Ini wajar saja: udara musim panas Siprus itu terik, menyesakkan, hampir tak tertahankan. Tetapi, pemandangan begitu banyak pengendara bertelanjang dada terasa agak merisaukan. Ketelanjangan manusia yang begitu ringkih di tengah permesinan kita ini mempertegas kemudaan spesies kita, kedalaman kerapuhannya, topeng kemodernannya. Kita ini orang Zaman Batu yang duduk di truk pikap Toyota.
Kebetulan ini merupakan kebenaran genetika di Siprus.
Siprus adalah salah satu pulau berpenghuni tertua di bumi. Kaum pemburu-peramu entah bagaimana sampai ke sini 12.000 tahun silam. Mereka memanggang gajah kerdil dan kuda nil pulau ini hingga punah, lalu mulai menciptakan beberapa desa tertua di dunia. Salah satunya, yang bernama Choirokoitia, memiliki rumah bundar yang berumur 9.000 tahun. Penampilannya ternyata tampak modern, tak ubahnya bungalo sanggraloka. Setelah itu, ada begitu banyak penyerbu silih berganti, haus akan kekayaan alam Siprus, terutama perunggu: bangsa Mesir kuno menyerang pantai, lalu datang bangsa proto-Yunani, Fenisia, Assyria, Persia, Romawi, Bizantium, Arab, tentara Perang Salib, Utsmaniyah, Inggris, dan akhirnya para bankir.
Saya berjalan kaki ke utara selama seminggu. Saya menuju sisi pulau yang diduduki Turki, yang diserbu tentara Turki pada 1974, lalu dari situ saya akan berlayar ke Turki. Jalur Sutra yang lenyap merentang dari sana ke Tiongkok.
Pedalaman Siprus merupakan pegunungan hantu. Saya mengitarinya. Saya menuruti kompas ke arah desa dan berjalan lurus melintasi ladang tandus yang berwarna merah bak kulit terbakar matahari. Saya tidak menghiraukan dunia pertanian Kartesius: irigasi, jalan berkapur, sudut siku-siku. Saya berjalan seperti cara burung terbang. Hanya burung yang terlihat: burung gagak hitam berkilat. Pulau ini milik kami. Saya dan burung gagak mengklaim Siprus.
Dalam penggal perjalanan ini—meninggalkan satu perang di Palestina sambil mendekati perang lain di Irak—saya tidak bertemu orang lain yang berjalan di luar. Sepanjang 150 kilometer sayalah satu-satunya yang berjalan kaki. Demikianlah kesepian di bagian dalam Eropa. Saya menarik dunia lewat hati saya, ibarat benang lewat mata jarum. Saya menyaksikan dunia merentang di belakang. Saya menanggalkan kemeja. Saya bebas.
Penulis | : | |
Editor | : | Latief |
KOMENTAR