Paviliun Irak pada Venice Biennale 2015 tidak beranjak dari konflik yang sedang berlangsung, lewat penampilan sejumlah karya seni tentang kelompok yang menamakan diri Negara Islam atau ISIS.
Sementara milisi ISIS terus bergerak maju ke arah Baghdad, seni kontemporer mungkin menjadi hal terakhir yang ada di benak kebanyakan orang Irak.
Tetapi beberapa seniman berbakat Irak tetap bekerja menentang pertumpahan darah yang melanda negara mereka sejak Saddam Hussein digulingkan.
Itulah yang saya temukan saat mengunjungi paviliun Irak pada Venice Biennale ke-56.
Di bawah pengaturan Ruya Foundation for Contemporary Culture di Irak, Philippe Van Cauteren, direktur artistik Museum for Contemporary Art di Ghent menjadi kurator pameran.
Untuk memilih lima seniman dalam pameran, Van Cauteren mengunjungi Amerika, Belgia, Turki dan Inggris disamping Irak sendiri.
Di Irak, dia mengatakan kepada saya, dirinya menemukan kegiatan seni kontemporer terkungkung yang ditandai dengan kesempitan cara pandang dan konservatisme.
"Selama penelitian, saya mengunjungi seniman di Baghdad dan menemukan sebagian besar karya seni Irak berbentuk lukisan indah yang tidak mewakili kenyataan tentang apa yang terjadi di negaranya," jelas Van Cauteren.
"Para pelukis ini diarahkan keindahan dan nostalgia. Tetapi saya memandang, hal ini sangat tidak menarik. Saya tidak bisa memahami mengapa seorang seniman yang tinggal di sebuah negara dengan kerumitan yang ada di Irak, berkeinginan melukis bunga, Tigris atau jalan-jalan Baghdad," katanya.
"Saya mencari 10% seniman yang memiliki keberanian bergaul dengan keadaan sekarang."
!break!Haider Jabbar
Sebagai hasilnya, seniman yang Van Cauteren akhirnya pilih untuk pameran adalah karya seni yang keras, tajam dan sulit dilupakan.
Dia menamakannya Keindahan Terselubung atau Invisible Beauty karena tidak diketahui keberadaannya oleh bahkan orang Barat yang memiliki cukup banyak informasi.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR