Bagi orang dewasa, berada di satu tempat penuh mainan itu bisa berarti nostalgia atas masa kecilnya. Bagi anak-anak, itu sama artinya dengan sibuk “bekerja”. Dan baik bagi orang dewasa maupun anak anak, itu berarti kegembiraan.
Kira-kira, seperti itu rasanya ketika berada di Museum Kolong Tangga. Berlokasi di Jl. Sriwedari No. 1 lantai dua gedung Taman Budaya Yogyakarta, museum ini adalah laboratorium mainan-permainan, yang sekaligus laboratorium peradaban.
Ketika saya berkunjung pada Rabu (24/6), museum nampak sepi. Saya membayar tiket masuk sebesar Rp4000. Beruntunglah anak-anak (dibawah 14 tahun) karena bisa berkunjung ke museum ini dengan gratis. Sayang saya tidak bisa menyembunyikan kumis, jenggot dan botak saya.
Karena belum pernah kemari sebelumnya, saya juga membeli katalog (Rp3.000) dan donasi untuk ijin foto (Rp5.000). Setelah mengambil kamera dari tas, saya masuk ke dalam.
Ratusan koleksi disusun dalam 35 etalase yang menunjukkan kategori, mulai dari ‘Semua jenis alat transportasi lama dan baru’, ‘Dunia robot’, ‘Boneka dan boneka tangan’ sampai ‘Ini adalah dunia anak perempuan’. Oh, masih ditambah koleksi yang tidak dikunci, juga etalase yang diletakkan di luar museum.
Saat ini, terdapat lebih dari 10.000 koleksi , terdiri dari koleksi lokal dan mancanegara, yang tentu saja tidak bia dipajang semuanya. Koleksi yang tidak/belum dipajang disimpan di gudang museum yang terletak di daerah Bintaran.
Sedang asyik melihat-lihat, saya terhenti dan tersenyum di depan etalase berisi koleksi celengan, kompor mainan sampai rantang makanan. Kesemuanya bermacam-macam bentuknya. Yang membuat saya tersenyum adalah keterangan untuk kategori tersebut, “Memasak, bermain dan menyimpan uang, betapa sibuknya kehidupan anak-anak!”.
Koleksi mainan dari pelosok negeri dan negara ada di museum yang bernaung dibawah Yayasan Dunia Damai. Beberapa koleksi merupakan milik pria asal Belgia, Rudi Cohen, inisiator sekaligus kurator museum ini. Sisanya, merupakan pemberian dari donatur yang mendukung berjalannya museum anak pertama di Indonesia ini. Salah satu koleksi mainan milik Rudi yang diberikan untuk museum ini adalah sepeda kayu. Dia menemukan sepeda yang sudah berumur itu di Magelang.
Museum Kolong tangga didirikan oleh Rudi dan beberapa pihak, termasuk Kepala Taman Budaya waktu itu, Dyan Anggraeni tahun 2008. Setiap tahun Rudi yang juga merupakan seniman dan kolektor mainan-permainan mengganti tema dan koleksi di museum tersebut.
Jika anda pergi ke Yogyakarta, khususnya bersama anak-anak, saya, dan mungkin banyak orang yang pernah berkunjung merekomendasikan museum ini untuk anda kunjungi. Sebagaimana dikatakan di awal bahwa museum ini adalah laboratorium mainan dan peradaban, anak-anak dapat bertemu dan belajar keseharian dan kehidupan berbudaya anak-anak di masa lampau dan kini.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Saeful Imam |
KOMENTAR