"Toleransi koeksistensi memandang bahwa demi perdamaian sosial dan mengejar kepentingan mereka sendiri, saling toleransi adalah hal terbaik dari semua alternatif yang mungkin untuk dilakukan," ungkap Rawls dalam tulisannya.
Sebagai contoh, salah satu keberhasilan dari pengambilan sikap toleransi koeksistensi terhadap perseteruan negara-negara adalah lahirnya Perjanjian Perdamaian Augsburg pada tahun 1555.
Hanya saja, itu tak terjadi pada negara-negara yang berdigdaya di dunia. Mereka berebut kedudukan untuk menancapkan cengkramannya pada negara-negara berkembang. Sejarah mencatat beberapa peristiwa intoleransi yang berujung pada konflik mengerikan.
"Amerika Serikat memandang bahwa Jepang adalah bagian dari intoleransi dalam sejarah, dimana mereka memulai pertempuran melalui pengeboman Pearl Harbor di Hawaii pada 7 Desember 1941," lanjutnya.
Jepang memiliki maksud-maksud tertentu dalam melancarkan penyerangan terhadap Pearl Harbor, yang salah satunya merupakan adanya egoisme penguasa untuk mendapatkan kedudukan secara politis di dunia internasional.
Baca Juga: Hikayat Toleransi: Mengenal Tasamuh di Ponpes Al Hidayat Lasem
"Amerika Serikat lantas menolak untuk menjalankan toleransi terhadap Jepang, mereka menganggap bahwa toleransi tak akan berlaku pada negara yang tak mau bertoleransi," imbuhnya.
Hal ini berdampak pada penyerangan yang lebih dahsyat lagi. "Nagasaki dan Hiroshima adalah bukti kemurkaan Amerika Serikat dalam mengambil sikap, menentang toleransi terhadap tindakan Jepang," tambahnya.
Diperkirakan sekitar 70.000 hingga 135.000 orang meninggal di Hiroshima, sedangkan sekitar 60.000 hingga 80.000 orang meninggal di Nagasaki. Diduga karena paparan akut terhadap ledakan, maupun dari efek samping radiasi jangka panjang.
Di tempat lain, di suatu Sabtu yang tenang, kebocoran persenjataan nuklir meledak di Chernobyl. Uni Sovyet yang terus mengantisipasi serangan maupun membangun serangan, mempersiapkan nuklir sebagai persenjataan untuk perang.
"Nahas, ledakkan nuklir tersebut menghasilkan radiasi dan gas radioaktif yang meracuni sejumlah penduduk Chernobyl," tulis Tetyana Klug. Klug menulis kepada DW Sciences dalam artikelnya berjudul Fact check: 5 myths about the Chernobyl nuclear disaster, terbit pada 25 April 2021.
Baca Juga: Kisah Dari Storm Lake, Kota Kecil yang Merangkul Perbedaan Warganya
"Chernobyl mengeluarkan 45 juta curie yodium radioaktif hanya dalam dua tahun pengujian, pada tahun 1961 dan 1962. Satu yodium radioaktif, berbahaya bagi kesehatan manusia, menyebabkan kanker tiroid atau penyakit tiroid." tambahnya.
Pemimpin Uni Sovyet, Nikita Khrushchev, tak memandang itu sebagai suatu kecelakaan. Ia hanya melihat kewaspadaan terhadap Amerika Serikat dengan mempersiapkan nuklir sebagai senjata yang suatu waktu akan ia gunakan.
Dampak mengerikan bagi kemanusiaan tersebut harusnya menjadi cerminan untuk menciptakan perdamaian melalui toleransi. Baik Jepang dengan Amerika Serikat, maupun Uni Sovyet dengan Amerika Serikat, menolak bertoleransi demi mencapai tujuan politisnya.
Toleransi harus diterapkan dalam norma-norma kehidupan. "Toleransi koeksistensi dianggap sebagai cara terbaik untuk mengakhiri atau menghindari konflik dalam menuju pencapaian tujuan (kepentingan) sendiri." pungkas Rawls.
John Rawls memahami bahwa beberapa tindakan lahir dari kecerobohan dan keegoisan untuk mencapai kepentingan dan tujuan-tujuan politis. Andai saja bila rasa toleransi dikedepankan, niscaya bencana nuklir yang mengerikan tidak akan pernah terjadi.
Baca Juga: Kerap Alami Perang Antaragama dan Etnis, Anak-anak Pakistan Diajarkan Toleransi Lewat Boneka
Source | : | DW,JSTOR |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR