Bicara soal Bajawa tentu tak lepas dari kopi. Kualitas kopi Bajawa diakui internasional sebagai salah satu yang terbaik di dunia. Bahkan saya yang bukan peminum kopi jatuh cinta pada renyahnya biji kopi Bajawa yang baru disangrai.
Di Sentra Kopi Organik Papa Wiu kami melihat proses pengolahan kopi mulai dari pemilihan biji, pengupasan, penjemuran, hingga siap dijual. Pada akhir kunjungan kami menikmati ngopi sore ala Bajawa yang menghadirkan pilihan kopi pahit, kopi manis dan kopi bercampur Moke – minuman khas Flores yang berasal dari sadapan pohon lontar atau enau.
Petang seketika menghangat oleh harum kopi ditemani suguhan singkong, jagung dan pisang rebus serta sayur urap Rumpu Rampe. Bayangkan nikmatnya menyesap kopi terbaik dunia langsung di daerah asalnya!
Sumber air panas
Selain kopi, Ngada juga memiliki beberapa sumber air panas untuk mengusir hawa dingin pegunungan. Malanage misalnya, sebuah sungai dengan aliran air bersuhu mendidih di bagian hulu dan hangat di bagian hilir. Letaknya tidak jauh dari jalan raya serta terdapat ruang ganti sederhana dan pondok kecil milik warga di samping sungai.
Puaskan diri bersantai di bagian hilir sambil menikmati keasrian dan ketenangan alam sekitar. Agar lebih mantap, pesanlah kopi pada pemilik pondok untuk diminum sambil berendam dan rasakan hangatnya air melemaskan otot lelahmu.
Kejutan manis menyambut kami di Gurusina. Kaki kecilnya bergerak lincah ke arah kami, satu persatu tangan kami diraih dan dicium sembari berceloteh cadel. Seperti orang Flores pada umumnya, keramahan adalah bakat alami yang mengalir di nadi balita itu.
Marcel, belum genap berusia dua tahun, dengan gembira menuntun kami ke tengah desa. Jarinya sibuk menunjuk ke sana ke mari, memastikan kami memotret keindahan desa serta pemandangan yang melatarinya. Tanpa canggung dia bermain, meminta dipangku dan digendong secara bergantian. Makan siang kami semakin berwarna berkat kehadiran Marcel dan Grace, gadis kecil sepupunya.!break!
Desa Adat Gurusina bertengger indah di kaki perbukitan Ngada. Berarsitektur mirip Bena, desa ini masih jarang dikunjungi meski aksesnya terbilang mudah. Pekarangannya cukup luas untuk menampung altar batu Ture Lenggi, rumah asli Sa’o Puu dan Sa’o Lobo serta kuil suci Ngadhu dan Bhaga. Tiga klan penghuni desa yaitu Klan Ago Ka’e, Ago Gasi dan Kabi memiliki rumah asli serta kuil suci masing-masing.
Setiap mengunjungi desa adat di Flores, saya selalu terkesan dengan atap rumah tradisionalnya. Bentuknya beragam tergantung suku, mulai dari kerucut hingga persegi, dan kesemuanya sangat rapi. Mungkin Edward Scissorhands – robot lugu bertangan gunting pada film Hollywood – pun akan kewalahan jika diminta membuat atap ilalang serapi itu.
Berada di sini membuat dunia yang saya kenal terasa jauh. Dunia yang berjarak dari akar budaya, dimana hutan beton dan hal serba instant marak dipuja. Dunia yang ironisnya kini ramai membayar mahal untuk konsepgreen-living yang tadinya dianggap primitif.
Senang rasanya bisa bertandang ke “dunia lain” di mana alam dan budaya masih diagungkan. Bagi saya Ngada bukan lagi sebuah bidang kecil di dalam peta Flores. Pemandangan indah itu memiliki kisah dan wajah-wajah itu memiliki nama. Magnet Wolobobo, kisah Inerie, kopi Bajawa, hangat Malanage, binar Mama Maria, pelukan Grace dan Marcel – bagaimana mungkin saya lupa?
Megathrust Bisa Meledak Kapan Saja, Tas Ini Bisa Jadi Penentu Hidup dan Mati Anda
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR