Masa libur sekolah masih panjang. Anak-anak jengah di rumah, mal pun mulai membosankan. Untungnya di Jakarta masih banyak tempat menarik yang layak dikunjungi. Museum, misalnya, bisa menjadi alternatif untuk melewatkan waktu luang di akhir pekan atau cuti pendek tengah minggu bersama keluarga.
Museum di Jakarta yang masuk daftar teratas untuk dikunjungi tentu saja Museum Nasional atau yang biasa disebut Museum Gajah. Siapa pun bakal merasa nyaman di sini. Kompleks museum luas dilengkapi parkir bawah tanah. Banyak tempat lapang yang membuat anak-anak bebas berlarian sekaligus bisa mengenali benda-benda seni atau cagar budaya di sekitarnya.
Seusai membeli tiket seharga Rp 5.000 per satu orang dewasa atau Rp 2.000 untuk anak-anak, pengunjung bisa memilih langsung ke Taman Arkeologi atau ke ruang-ruang pamer di sekitarnya. Di Taman Arkeologi terhampar rumput hijau dikelilingi teras/koridor. Artefak batu dan batu bata, seperti patung dan prasasti ditampilkan di sepanjang koridor dan di tengah taman.
Masih begitu banyak koleksi museum ini yang membuat sadar betapa kayanya Indonesia. Di Ruang Etnografi dan Rumah Adat, Rabu (1/7), misalnya, beberapa turis asing termangu melihat perahu sepanjang lebih dari 2 meter asal Papua yang dibuat dari kayu utuh.
Selalu muncul tanya dari para pengunjung, khususnya anak-anak, saat melihat arca batu, alat-alat musik dari berbagai penjuru Nusantara, hingga koleksi tengkorak manusia purba dan tinggalan prasejarah seperti kapak batu.
Mewadahi minat si kecil, Museum Nasional kini dilengkapi fasilitas Kids Corner. Di fasilitas ini, ada lima ruang untuk mewarnai dan menggambar, ruang alat musik tradisional, ruang permainan tradisional, ruang membatik, serta ruang lukis.!break!
Terlalu penuh
Begitu banyak koleksi ditampilkan di Museum Nasional. Sehari tidak akan cukup waktu untuk mencermati lebih dari 141.000 koleksinya. Kondisi itu, di satu sisi, memberikan peluang bagi pengunjung untuk selalu datang kembali ke museum.
Namun, koleksi yang tumpah ruah berjejalan, seperti tampak di Taman Arkeologi, terkesan mengerdilkan arti penting benda-benda bersejarah.
Tak pelak, angan pun melayang membandingkan dengan pengelolaan museum di luar negeri. Di Singapura, misalnya, tidak akan ditemukan museum dengan koleksi sekaya Museum Nasional. Akan tetapi, mereka mampu mengemas keterbatasan itu menjadi hal yang amat memukau.
Cobalah ke Fort Canning, di jantung Kota Singapura, tepatnya di Museum Pinacotheque de Paris, cabang dari museum yang sama di Paris, Perancis. Marc Restellini (51), pemilik sekaligus pengelola Pinacotheque, dalam pembukaan museum itu 29 Mei lalu di Singapura, mengatakan, kekuatan koleksi yang ditampilkan berada pada cerita di baliknya.
Marc memberikan ruang dan kesempatan bagi pengunjung untuk menikmati setiap koleksi kemudian melihat kemiripan satu sama lain. Guratan wajah pada pahatan kayu asal Nias, misalnya, ternyata serupa dengan wajah dari sebuah lukisan karya seniman Eropa. Ini menunjukkan sebuah budaya bisa jadi saling memengaruhi lintas genre, lintas waktu, dan ruang serta telah berlangsung lama.
"Setiap koleksi diperlakukan istimewa. Pencahayaan dan perawatan sehari-hari amat diperhatikan. Cerita-cerita di baliknya terus digali. Untuk itu, museum butuh kurator-kurator hebat yang tahu pasti segala sesuatu tentang setiap koleksinya," kata Marc.
Bruce W Carpenter (62), salah satu kurator yang bekerja bersama Marc, jatuh cinta pada kebudayaan Indonesia. Bruce yang mendalami sejarah, filosofi, dan agama oriental itu mengenal Indonesia sejak tahun 1970-an. Ia menulis lebih 20 buku terkait budaya, seni, dan seniman Indonesia, baik karya sendiri maupun bersama beberapa penulis/peneliti lain.
"Indonesia punya kekayaan yang amat berlebih di bidang seni dan budaya. Sayang, belum semua dikelola dengan baik. Koleksi di museum pun bisa beberapa kali hilang. Butuh revolusi pengelolaan di bidang seni dan budaya untuk memajukan Indonesia," kata Bruce.
Dihargai
Di tengah permasalahan di Tanah Air, beberapa karya anak bangsa justru melambung di dunia. Di pameran eksibisi bertema "After Utopia" di Singapore Art Museum, misalnya, beberapa karya seniman Indonesia dipamerkan bersama karya seniman Asia lainnya.
Di After Utopia yang berlangsung dari 1 Mei sampai 18 Oktober 2015, ada "Pinkswing Park" karya Agus Suwage dan Davy Linggar yang menyedot perhatian pengunjung. Di Indonesia, karya itu berujung kontroversi pada tahun 2006 karena disebut oleh satu pihak sebagai pornografi. Di tengah euforia kebebasan pasca Reformasi 1998, karya yang menggambarkan parodi kaum urban itu pun dibekukan di negeri sendiri.
Di ajang yang sama, Maryanto eksis dengan karyanya "Pandora\'s Box". Karya berupa ruangan tertutup dengan lukisan dari arang di dinding-dinding tembok, menggambarkan kegiatan pertambangan lengkap dengan alat beratnya. Sebuah eksploitasi alam yang bisa berakibat amat buruk.
Karya Yudi Sulistyo tak kalah menarik, yakni berupa kendaraan perang lengkap dengan senjata dan amunisinya yang terbuat dari kardus. Terlihat garang, tetapi jelas mudah lapuk dan rusak. Sebuah keprihatinan atas kualitas fasilitas pertahanan, bahkan armada penerbangan nasional, yang dulu sempat dilarang terbang ke beberapa belahan dunia.
Senang melihat tinggalan budaya Indonesia dan karya anak bangsa mendapatkan tempat terhormat di dunia luar. Semoga hal-hal baik terkait pengelolaan karya seni dari luar juga cepat menular ke Indonesia.
Kata aktivis pelestarian budaya dan sejarah Indonesia, Asep Kambali, perubahan itu bisa dimulai dengan menumbuhkan rasa cinta akan budaya dan sejarah negeri sendiri. Salah satu caranya, yaitu dengan sering-sering main ke museum. Yuk!
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR