Perjalanan Kota Surabaya tidak dapat dilepaskan dari aliran dan arus sungai Surabaya yang membelah ibu kota Provinsi Jawa Timur itu.
Sepanjang sekitar 40 kilometer, sungai yang berhulu di dataran tinggi di selatan kota itu merupakan sumber segalanya bagi warganya --selama berabad-abad.
Mulai berfungsi sebagai jalan raya, sumber air minum, pelimbahan, hingga bahkan air suci.
Sejarah juga mencatat, kejayaan Mojopahit tidak terlepas dari arus, aliran dan bisik aliran Kali Surabaya.
"Bangsa yang namanya Mojopahit, Singosari, itu adalah bangsa-bangsa besar yang mereka sangat harmoni, menghormati, dan bijaksana terhadap sungai," kata Prigi Arisandi, aktivis LSM lingkungan, yang dikenal mencintai dan peduli terhadap Kali Surabaya.
"Mereka itu menganggap sungai itu sebagai anugerah Tuhan yang perlu dihargai," kata pria kelahiran 1976 ini.
Namun harmonisasi hubungan manusia dengan sungai yang pernah terukir dalam sejarah, seperti yang selalu dia bayangkan, kini tinggal menjadi kisah masa lalu.
Saat ini, menurut Prigi, yang tersisa adalah kisah pilu Sungai Surabaya. "Artinya, sungai ini dalam keadaan mengkhawatirkan, kalau tidak dilakukan pemulihan," katanya.
Indikasinya, sebelum tahun 2007, setiap tahun selalu terjadi peristiwa ikan mati massal, ungkapnya.
"Karena, setiap hari Kali Surabaya ini dibuangi 75 ton limbah cair, sedangkan sungai ini hanya menampung 35 ton limbah cair setiap hari. Artinya Sungai Surabaya sudah mengalami over dosis pencemaran," papar peraih penghargaan prestius di bidang lingkungan, Goldman Environmental Prize 2011 ini.
!break!Tetapi Prigi tidak sebatas bernostalgia. Diawali keprihatinan dan kegelisahannya terhadap nestapa pohon bakau di pesisir Surabaya, dia dan kawan-kawannya yang memiliki kepedulian yang sama tiba pada kesimpulan bahwa masalah besarnya ada pada sungai Surabaya.
Bersama rekan-rekannya yang memiliki kepedulian yang sama, Prigi lantas mendirikan Ecoton, singkatan Ecological Observation and Wetlands Conservation, lima tahun silam.
Fokus kepada pemberdayaan sungai, perjalanan organisasi lingkungan ini melakukan berbagai upaya untuk menyelamatkan Kali Surabaya, mulai upaya menggugat kalangan industri hingga advokasi.
Dan ternyata tidak mudah. Sampai akhirnya Prigi dan kawan-kawan sampai pada satu titik.
"Selalu saja kita tidak bisa menggugat industri. Contohnya adalah baku mutu limbah cair, itu setiap industri berbeda, setiap kabupaten berbeda. Itu disesuaikan dengan kemampuan industri untuk bisa menerapkan teknologi dengan limbah," ungkap alumni Fakultas MIPA, Universitas Airlangga, Surabaya ini.
Dari gambaran seperti itulah, Ecoton kemudian lebih menitikberatkan pada pendekatan negosiasi.
"Jadi kita mengajak semua stake holder, private sector (swasta) terutama, untuk memikirkan industri harus berjalan, masyarakat harus berjalan, anak-anak kita harus memiliki hak yang sama atas akses sumber daya air dan air yang bersih," tambahnya. .
Karenanya, menurutnya, dunia industri harus mengambil peran memulihkan dan mengurangi perilaku mereka yang mencemari sungai. Salah-satunya bagaimana kita melihat ekosistem itu mampu menjadi habitat perikanan," paparnya lebih lanjut.
!break!Seperti diberitakan sejumlah media massa, berulangkali muncul kasus kematian ribuan ikan di sungai Surabaya.
Ini adalah contoh nyata betapa pencemaran sungai yang membelah kota Surabaya itu termasuk kategori kronis.
Dan menurut Ecoton, kasus kematian ribuan ikan ini semakin menguatkan ide mereka untuk menaruh perhatian pada dampak ekologis terhadap keberadaan spesies-spesies ikan lokal Kali Surabaya serta kesehatan warga yang tinggal di pinggir sungai, utamanya di kawasan hulu.
"Dulu, lebih muda kita bersahabat dengan sungai, karena merasakan kemanfaatannya secara maksimal. Kalau besok mau masak ikan apa, tinggal lempar pancing, sudah dapat. Sekarang sudah berkurang," kata Anang Syamsul Arifin, seorang warga yang tinggal di dekat bantaran Kali Surabaya, di sebuah desa di Kabupaten Sidoarjo.
"Apalagi kesehatan masyarakat perlu dijaga. Kalau sampai ikan-ikan terkontaminasi atau terkena limbah, itu tidak bagus kesehatan warga di bantaran sungai," tambah Anang.
Di sinilah, Ecoton akhirnya memilih model pendekatan suaka ikan untuk merestorasi Kali Surabaya.
Melalui negosiasi yang panjang dan melibatkan berbagai instansi, model ini didukung pemerintah Jawa Timur, dengan lahirnya Peraturan Gubernur pada Maret 2014 lalu tentang suaka ikan di sebuah ruas Kali Surabaya bagian hulu yang melewati kawasan sembilan desa.
!break!Tetapi mengapa suaka itu diberlakukan di wilayah itu? "Lokasi-lokasi yang banyak itu terdapat di sembilan desa ini," kata Riska Damaryanti adalah aktivis LSM Ecoton sekaligus koordinator program suaka ikan Kali Surabaya.
"Di desa-desa ini juga muncul ancaman, warga yang nyetrum, kemudian pemanfaatan menjadi pemukiman. Makanya kami mencegah agar habitat ikannya sendiri tidak berubah banyak. Kalau pun berubah, bagaimana kami mengubah pengelolaannya menjadi ramah lingkungan," jelas Riska.
Sebagai aturan hukum, peraturan suaka ikan dianggap sebagai sebuah kemajuan. Tetapi untuk menerapkannya, bukanlah masalah gampang.
Ini diakui oleh Prigi, Riska dan warga desa di bantaran sungai Surabaya yang peduli terhadap persoalan ini.
Di sinilah mereka kemudian mencoba meyakinkan para kepala desa di wilayah itu untuk membuat peraturan tingkat desa.
Riska memberikan contoh, upaya yang dilakukan pihaknya berupa penanaman bibit sengon atau pohon sengon (Albizia chinensis) di bantaran sungai.
"Dengan penanaman ini akan memberikan nilai ekonomi bagi warga desa, sehingga mereka akan berpikir bahwa bantaran sungai dan sungainya itu sebagai sebuah potensi milik desa yang harus dilindungi. Berarti ini potensi yang harus diamankan. Nah, dari situ yang akan mendorong pemerintah desa untuk menerbitkan peraturan desa," jelas Riska.
!break!Program suaka ikan di Sungai Brantas di wilayah Kabupaten Sidoarjo dan Kabupaten Gresik, Jawa Timur, yang telah dirintis oleh LSM Ecoton, terus mendapat dukungan.
Akhir Juni 2015 lalu, sejumlah LSM, beberapa kepala desa serta didukung instansi pemerintah Provinsi Jawa Timur, telah mencanangkan gerakan bank ikan di Sungai Brantas.
"Menyepakati adanya kerja sama yang kontinyu, berkelanjutan untuk mempertahankan daerah suaka ikan," kata Kepala Bidang Tata lingkungan, Badan Lingkungan Hidup Jawa Timur, Diah Susilowati.
Menurutnya, gerakan bank ikan ini bertujuan agar "program suaka ikan tetap terjaga, bahkan lebih meningkat."
Sementara, Daru Setyo Rini, Koordinator Program LSM Lingkungan Ecoton, mengatakan, salah-satu langkah kongkret gerakan ini adalah "melestarikan spesies ikan asli sungai Brantas dengan membuat kawasan yang ikannya dilarang diambil."
"Ada kawasan khusus yang dilarang untuk menangkap ikan di sana, karena itu merupakan zona inti dari kawasan lindung suaka ikan di Kali Surabaya, " kata Daru Setyo Rini, seraya menambahkan pihaknya akan mengusulkan agar larangan pengambilan ikan itu berlangsung minimal sampai lima tahun ke depan.
Adapun lokasi persis zona inti itu, menurutnya, di sepanjang sungai Surabaya dari pintu air Mlirip, Mojokerto hingga Desa Legundi, Gresik.
"Untuk seluruh total suaka ikannya sepanjang 10 km, tapi untuk zona intinya itu terpencar-pencar. Yaitu di kawasan yang sangat baik, yang kita cadangkan sebagai bank ikan," jelasnya.
"Ada tiga lokasi yang menjadi zona inti yaitu di Desa Bogem Pinggir, Desa Kedung Anyar dan Desa Wringin Anom," katanya.
Agar program ini berjalan, semua instansi terkait, LSM dan masyarakat sekitar akan melakukan patroli di sepanjang kawasan konservasi ikan, tambah Daru Setyo Rini.
Penulis | : | |
Editor | : | Aris |
KOMENTAR